Jadi gini gaess, sebelum membaca artikelnya lebih lanjut, terima kasih untuk semua teman-teman yang telah bersedia mengisi polling tentang beberapa hal yang dirasa sangat disayangkan dari berlalunya masa muda belia.
Dan juga, sebelum lanjut ke ulasannya, silakan dicermati gambar di bawah ini ya. Ini mungkin adalah jasa layanan produksi konten paling murah di jagat jasa produksi visual. Memang, ada harga-ada rupa, tapi untuk yang mencari: Murah, cepat, dan nggak jelek-jelek amat hasilnya, maka Angrybow solusinya.
Baiklah, sekarang kita masuk ke pembahasan. Polling ini dilakukan secara mikro yakni terhadap 30 orang Gen X dan Gen Y (milenial), di dua komunitas: Alumni SMA angkatan '96 dan alumni teman-teman kuliah dari Gen X hingga milenial.
Bukan hal esensial, namun polling ini lebih kepada ingin memahami, apa saja yang menjadi koreksi diri bagi para Gen X, yang kini anggota termudanya (kelahiran 1980) telah berada di usia 45. Pertanyaannya adalah apa yang kalian sesalkan dari potensi masa muda belia (umur 17-25 tahun) yang telah luntur saat ini? Ada enam hal yang terungkap, yakni:
- Merasa ketangkasan fisik tak lagi melimpah (17 orang)
- Merasa ketersinggungan hati semakin sering (1 orang)
- Merasa keindahan penampilan diri berkurang (2 orang)
- Merasa tidak lagi bebas bepergian jauh (1 orang)
- Merasa tak lagi mudah berpikir jernih (4 orang)
- Merasa tak lagi punya keberanian tinggi (5 orang)
Maka yang disesalkan dari 30 orang ini ada 2 hal yakni umur semakin tua rupanya mengurangi ketangkasan fisik dan mengikis nyali. Berikut diagramnya:
Latar Belakang
Latar belakang adanya polling pendapat kecil-kecilan ini sebenarnya lantaran masih cukup besarnya masalah Generation Gap yang terjadi di sektor pembangunan karir. Polling di atas hanya mencoba menggali kejujuran pada Gen X dan Milenial untuk diketahui.
Satu dasawarsa lalu atau sekitar 2015, salah seorang psikolog UGM yang fokus pada bidang pengembangan SDM, Dra. Puspita Zorawar, M.Psi.T mengungkap tentang masalah Generation Gap Communication yang sebaiknya secepat mungkin diatasi. Di saat itu, Generation Gap terjadi antara Baby Boomers, Gen X, dan Gen Y.
Dra. Puspita Zorawar, M.Psi.T |
Sebab menurut Puspita Zorawar, bila miskomunikasi tersebut dibiarkan berlarut-larut, niscaya Indonesia akan semakin jauh tertinggal dalam hal wolrd class employee engagement. Tidak perlulah sampai ke level global, di kancah Asia Tenggara saja, Puspita pada 2013 lalu mengungkap hasil survey yang dia dapat sebagai berikut:
- Singapura dengan nilai tertinggi klasifikasi A+
- Malaysia dengan klasifikasi B+
- Indonesia dengan klasifikasi C-
Dapat dibayangkan, Singapura, negara yang 90 kali lebih kecil dari Indonesia bisa meraih klasifikasi A+ lantaran engagement di kantor yang sangat baik. Salah satunya adalah kolaborasi kerja antargenerasi yang baik. Lalu bagaimana posisi Indonesia di 2023 atau 10 tahun setelahnya? Berikut hasil survey employee engagement berdasarkan survey PwC Global.
- Singapura masih dengan nilai tertinggi klasifikasi A+
- Thailand dengan klasifikasi B+
- Filipina dengan klasifikasi B-
- Malaysia dengan klasifikasi C
Tampak Indonesia tenggelam tidak masuk ke dalam kategori, yang artinya saat ini employee engangement di Indonesia semakin buruk dari 10 tahun sebelumnya. Yang nyatanya masalah Generation Gap kini antara Gen X, Gen Y, dan Gen Z.
Era Veteran
Di rentang 10 tahun lalu, generasi Baby Boomers masih banyak terdapat di perkantoran. Baby Boomers atau veteran tumbuh dengan banyak pengalaman hidupnya. Mereka cenderung lebih ingin diikuti keinginannya. Kemudian, pertemuan antara para veteran dengan Gen Y, memang kerap diwarnai kontra.
Namun kontra itu tidak separah kolaborasi antara Gen X versus Gen Y. Karena jumlah veteran di perusahaan-perusahaan tidak sebanyak Gen X. Dan Gen Y masih mau menerima nilai keteladanan dari para veteran itu.
Sedang Gen X kerap merasa sebagai generasi yang paling berbobot. Pasalnya mereka hidup di masa pembangunan, dimana semua orang hidup dengan melibatkan diri di setiap peristiwa, berjuang mencari tahu lebih banyak, dan menjalani proses setapak demi setapak. Tak heran bila Gen X lebih terperinci dalam merancang sesuatu dan berbicara cenderung panjang lebar.
Masalahnya adalah, saat berhadapan dengan para Gen Y (yang hidup di zaman serba tersedia, baik sarana dan prasarana) para Gen X ini merasa tidak perlu melibatkan Gen Y lebih jauh dalam programnya. Dengan kata lain Gen X hanya menginginkan Gen Y sebagai pelaksana. Padahal potensi Gen Y lebih jauh dari itu.
Gen X yang sangat menghargai proses panjang perjuangan, cenderung memilih tim yang segenerasi, menganggap Gen Y masih belum cukup kompeten. "Sementara Gen Y, yang lebih suka move on dan cenderung never look back, sangat ingin dilibatkan. Mereka ingin tahu arah dan tujuannya," pungkas Irvandi. Inilah yang harus dikelola dengan baik.
Perlu dipahami bahwa Gen Y merupakan generasi yang hidup dengan segala informasi sudah tersedia, yang cenderung menginginkan sesuatu dengan cara to the point. Mereka kerap mengharapkan tanggapan yang segera, baik tanggapan berupa penghargaan maupun hukuman, atas apa yang mereka kerjakan. Mereka tak ada waktu lagi diminta memahami bahkan menjalani proses sebuah produk.
Sementara di saat Gen X masih terjebak dengan stigma membangun, Gen Y justru sudah berpikir bagaimana cara mengatur hasil dari pembangunan atau mengatur sebuah proses.
Era Genzi
Generasi Z yang tak lain adalah Gen Z atau GenZi adalah generasi yang semakin unik karakternya. Mereka hidup di era dimana bahkan untuk berkomunikasi jarak dekat saja bisa dilakukan secara pasif, menggunakan perangkat internet atau gagdet. Beda dengan Gen Y yang masih sering mendatangi lawan bicaranya, apalagi Gen X yang cenderung kurang suka dengan komunikasi pasif.
Belum lagi dari segi mentalitas yang jauh berbeda, seperti mudah menyerah saat tantangan kerja menjadi kompleks pada Gen Z dan dibenturkan dengan kecenderungan 'mengulik' masalah pada Gen X. Bagi GenZi, justru Gen X buang-buang tenaga dan waktu karena apa yang dilakukan Gen X bisa dengan mudah dilakukan oleh AI. Sedangkan kultur Gen X yang di masa mudanya suka terlibat langsung menyelesaikan masalah ketimbang dibantu teknologi.
Sedangkan Gen Y atau milenial yang berada di tengah -tengah antara GenZi dan Gen X cenderung lebih mirip Gen Y dalam menyelesaikan masalah, yakni memanfaatkan fitur teknologi, namun di saat yang sama, juga suka melibatkan diri dalam membuktikan sebuah analisis. Permasalahan-permasalahan seperti yang telah disebut, menurut Puspita Zorawar masih belum selesai hingga saat ini, menyebabkan Indonesia masih tertinggal dalam hal employee engagement.
No comments:
Post a Comment