Banyak sekali fotografer yang disiplin ilmunya non kesenian. Niky Tanjung misalnya. Fotografer yang dulunya kuliah di jurusan Teknik Pertambangan itu, kini menjadi seorang fotografer profesional beraliran photo modelling untuk kelas high end dan berangkat berkarya pun dari fotografi landscape. Lalu ada lagi Arbain Rambey, fotojurnalis senior Kompas yang dulunya dari Teknik Sipil. Bahkan ada lagi fotografer kondang Darwis Triadi yang pernah dituduh melacurkan diri dari pilot menjadi modelling photographer.
Dan masih banyak lagi fotografer profesional Indonesia yang karyanya melanglang buana ke seluruh dunia, yang berangkat dari ilmu yang bertolak belakang dari bidang artistik. Maka profesi fotografi bisa dikatakan secara sah sebagai profesi terbuka, karena siapapun orangnya, mereka akan bisa sukses di bidang tersebut. Sama seperti jurnalisme atau kewartawanan. Bahkan gabungan dari nilai-nilai umum fotografi dan jurnalistik, menghasilkan satu aliran spesifik yakni fotojurnalisme.
Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi praktisi fotografi dan mendapatkan uang dari sana? Angrybow akan sedikit berbagi informasi tentang dunia fotografi. Seperti orang-orang yang telah diipaparkan di awal artikel, Angrybow pun sama, bukan berangkat dari disiplin ilmu seni. Namun sejak 2022 Angrybow telah terjun di dunia jurnalisme dan sejak itu pula mengenal fotojurnalisme, hingga saat ini. Pertanyaan berikutnya, bagaimana awal menghasilkan uang dari fotografi?
Maka ada dua hal yang perlu dipahami sebelum memutuskan untuk mencari uang di dunia fotografi, yakni:
1. Lapak jualan foto karya kita
2. Foto apa yang kita mau jual
Poin pertama, yakni tentang lapak jualan foto. Di dunia fotografi komersil, ada yang jualan foto lewat dua kelas, yakni kelas low-end atau foto harga murah dan high-end atau foto harga mahal. Untuk kelas low-end contoh paling mudah bisa kita lihat dari jasa foto pinggir jalan. Mereka biasanya menjual jasa pas foto dan foto close up serta mungkin foto grup terbatas (maksimal 2 orang satu frame).
Kemudian yang high-end dapat kita lihat yang paling umum adalah studio foto komersil yang melayani beberapa kategori foto. Misalnya studio untuk jasa foto grup besar (foto keluarga), studio foto model, hingga foto kuliner (food photography). Dan semua kategori tersebut tidak dilakukan oleh satu usaha foto, misalnya "Studio Foto ABC" melayani sekaligus foto model, foto kuliner, dan foto grup besar. Fotografi high-end saat ini bahkan telah menyediakan jasa sewa studio foto, seperti yang dilakukan Niky Tanjung.
Maka untuk mereka yang ingin memulai usaha fotografi, tentunya yang perlu dilakukan adalah mengasah taste atau cita rasa diri terhadap sebuah foto terlebih dulu. Seorang fotografer yang melangkah ke dunia komersil wajib memiliki opini terhadap sebuah foto. Artinya dia tak cukup hanya mengatakan "Fotonya bagus", tapi juga memiliki penilaian mengapa dia menilai foto itu bagus? Dari sisi apa saja dan apa yang membuat foto itu bagus menurutnya?
Setelah memiliki taste tersebut, maka sesuaikan anggaran yang ada untuk memulai bisnis fotografi. Bila sebatas hobi, maka sebaiknya jangan dulu buka usaha foto. Tapi jadilah asisten fotografer untuk memperbanyak karya foto. Kebanyakan fotografer yang berangkat dari hobi, mereka tidak berambisi mengejar sebuah project. Mereka biasanya berkarya sesuai dengan animo saja.
Buku "Fotografi Microstock" yang telah dikontrak penerbit online Lentera.App yang sebentar lagi akan dipromosikan (sementara tidak cetak fisik dulu) |
Berlanjut ke poin kedua, yakni tentang foto apa yang ingin dijual, maka akan berkaitan dengan aliran fotografi. Apakah seorang fotografer ingin menghasilkan uang di aliran foto model? Food photography, photo product, nature photography, atau bahkan photojournalism? Karena kesemuanya memiliki segmen konsumen yang berbeda-beda. Jasa foto untuk aliran modelling tentunya akan digunakan oleh pelaku usaha busana, lalu food photography untuk tata boga, dan photo product pasti langganan mereka yang jualan barang.
Sedangkan fotojurnalisme dan nature photography (termasuk wildlife and animal photograpy), tentunya tidak bisa dijual kepada pelaku bisnis butik dan kuliner. Seorang fotojurnalisme tidak seperti food photographer dan product photographer yang fotonya bisa laku puluhan copy hanya dengan dibanderol harga tertentu di website microstock. Karena calon pembeli fotojurnalisme terkait dengan kepentingan tertentu, bahkan politis.
Begitu juga dengan nature photography, mereka akan merasa sangat rugi bila foto hasil jepretan mereka di pajang di microstock lantaran harga jual yang sangat kecil dibanding effort yang dilakukan. Maka cara mereka menjual hasil karya foto mereka pun berbeda. Kebanyakan para fotojurnalis dan nature photographer memajang foto mereka dalam sebuah galery atau etalase tersendiri (website pribadi atau page khusus di media sosial). Dari situ, mereka akan mendapatkan customer exposure (penikmat foto) dari seluruh dunia.
Nah, dari customer exposure itulah para fotojurnalis kemudian mendapatkan tawaran sebagai stringer aatu koresponden di media massa, dan para nature photographer akan mendapat project dari korporasi (National Geographic, institusi lingkungan, LSM, dan sebagainya).
Lalu bagaimana dengan Angrybow sendiri? Di ranah mana mendapatkan uang dari fotografi tersebut? Angrybow hingga detik ini adalah koresponden untuk media di luar negeri dan juga menjalankan usaha nature photography. Angrybow juga menulis buku tentang fotografi yang untuk para fotografer pemula. Namun karena buku tersebut kini sedang dikontrak oleh penerbit online, maka tunggu saja dalam waktu dekat akan ada promosi buku tersebut. Beberapa karya foto dan video shooting Angrybow dapat di lihat di bawah ini.
Harimau Sumatera di Ragunan | Nature photography (wildlife) |
Mangrove snake | Nature photography (wildlife) |
Aceh truce moment | Photojournalism |
Back then Irwandi Yusof for Aceh peace agreement | Photojournalism |
Bogor in the afternoon at Presidential Palace | Nature photography |
After rain of morning | Nature photography |
Home trash thrown on the coastal | Photojournalism |
Commemoration Of Asian African Conference building | Photojournalism |
No comments:
Post a Comment