Sekitar 5 tahun lalu, si A (yang baru menyadari serunya dunia fotografi digital) memutuskan untuk fokus pada dunia fotografi. Hampir sebagian penghasilannya dari bekerja, dia pakai untuk membeli peralatan fotografi. Ya, hobinya sedang berkuasa atas pleasure-nya saat itu. Sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk membuat hobinya itu jadi duit. Mulailah dia turun mencari project foto sana sini, dari segala sektor dia hajar, baik wedding photo, kuliner, street photo, hingga editorial (fotojurnalisme).
Sampai pada akhirnya dia berhenti pada satu fokus, dimana menurutnya, itulah passion foto miliknya. Dari situ, dia sempat mendapat penghasilan sampingan yang cukup lumayan, bahkan kadang melebihi gaji pekerjaannya.
Itu cerita si A. Lalu ada lagi si B. Sama seperti si A, dia mulai menyukai foto dari era digitalisasi, dimana jepret sana sini hanya semudah pencet jari di atas tombol shutter. Setelah dia mengenal dunia microstock, kemudian dia memutuskan untuk berfokus menjadi kontributor foto pada salah satu website jual-beli karya foto. Sempat juga suatu ketika penghasilannya menyamai gajinya.
Namun setelah lima tahun, ternyata A dan B sudah tidak lagi menjadi fotografer. Peralatannya sudah berjamur karena jarang dipakai dan beberapa bahkan sudah dijual. Berbeda dengan si C dan D. Namun kisah si C dan D ini tidak dilatarbelakangi dari memanfaatkan peluang. Bisnis fotografi si C dan D justru berjalan di luar peluang yang sedang muncul.
Si C pada dasarnya adalah seorang penulis warta atau jurnalis. Namun dia perlahan mempelajari bagaimana supaya kisah yang menarik yang ditulisnya bisa menjadi sebuah visualisasi foto yang dramatis. Dari situlah dia mulai memotret kejadian-kejadian yang berkaitan dengan dunia jurnalisme. Dan lima tahun kemudian, dia sudah menjadi jurnalis dengan honor dari menulis dan foto. Ya, dia sukses menjadi fotojurnalis dan content writer.
Kemudian si D, awalnya adalah penyuka binatang. Dari situ dia banyak belajar melihat hewan-hewan yang eksotik, indah, dan juga bisa tampak rupawan seperti manusia yang cantik dan ganteng. Mulailah si D melakukan pemotretan eksplorasi atas dunia hewan dan lingkungan. Dan lima tahun kemudian si D sudah menjadi koresponden di National Gepgraphic dengan hasil ribuan US$.
Turn over
Maka tampak bahwa ada tipikal fotografer yang memandang dari sisi oportunitas dan ada yang melihatnya sebagai sebuah jalan untuk pengembangan diri. Dan ternyata, mereka yang menggunakan fotografi sebagai jalan untuk pengembangan diri tampak malah terus berkembang. Sementara yang oportunis, seperti grafik yang terjun bebas, dari tinggi ke rendah.
Maka perlu dipahami bahwa ada semacam keharusan bagi diri kita untuk selalu mengembangkan diri, bukan hanya berkembang sesuai keinginan pasar. Karena di pasar, acapkali kita menemukan yang namanya turn over. Tahun ini membludak produksi barang yang tren, tapi tahun depan barang itu sudah tak lagi diminati konsumen. Bahkan tak perlu menunggu setahun, kadang tak sampai tiga bulan sudah turn over. Begitu juga dengan oportunitas, tahun ini marak, tahun depan sepi. Alhasil para oportunis gulung tikar atau berganti usaha.
Tapi berbeda dengan mereka yang memang fokus mengembangkan diri, untuk tujuan masa depan. Dia akan paham seberapa besar volume kebutuhan pasar ke depan dan juga saat ini, karena analisisnya. Sehingga dia justru melakukan manajemen skill-nya sesuai analisisnya tersebut. Maka dalam hal apapun, tak hanya fotografi, sudah sepatutnya kita membekali diri dengan sesuatu yang bermanfaat, bagi diri sendiri maupun manfaat yang lebih luas lagi di masyarakat.
No comments:
Post a Comment