Kehandalan Suku Bajau dalam menyelam dengan waktu lama tanpa bantuan peralatan selam, selalu menjadi daya tarik bagi peneliti hingga detik ini. Dua peneliti dari Mid Sweden University, yakni Profesor Erika Schagatay sebagai fisiolog kehewanan dan Erik Abrahamsson, seorang anthropolog dan fotografer, yang ikut dalam peliputan bersama Hakai Magazine, menyatakan bahwa kehidupan para penjelajah kedalaman pesisir itu lebih menarik dari freediving international competition yang selalu digelar tiap tahun.
Di kompetisi itu, pemenang kompetisi selam ada yang mampu menempuh kedalaman hingga 200 meter. Sementara kedalaman rata-rata penyelam Suku Bajau antara 10-15 meter saja. Memang pada akhirnya secara awam, tampak lebih dramatis yang menyelam hingga kedalaman 200 meter. Karena hal itu menyangkut keahlian dan teknik menyelam hingga sebegitu dalamnya. Tapi setelah 200 meter menembus permukaan laut dan kembali lagi, apakah sanggup mereka melakukan lagi dan lagi?
Suku Bajau yang melakukan hal itu. Penyelaman mereka bisa sampai 5 jam dalam sehari. Dan hal tersebut ternyata sudah dilakukan Suku Bajau sejak 15 ribu tahun yang lalu. Penelitian Schagatay dan Abrahamsson dilakukan di kawasan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra). Namun kedua peneliti itu juga sudah meneliti Suku Bajau lainnya yang ada di Filipina dan Malaysia.
Mungkin itu pula penyeban evolusi anatomi pada tubuh orang-orang Suku Bajau, yang memiliki organ limpa berukuran dua kali lebih besar dari manusia biasa. Bagaimana tidak, dalam sehari mereka berada di laut selama setengah hari (5-6 jam) dan 60% dari waktu tersebut, mereka habiskan dengan menyelam sedalam 10 meter setiap 30 detik sehabis mereka muncul ke permukaan air.
Artikel ini dibuat untuk mendukung artikel sebelumnya :
Organ Limpa Suku Bajau Bikin Penasaran (angrybow.com)
Kampung Mola, perkampungan Suku Bajau di Wakatobi | Butonmagz.id |
Penelitian Schagatay dan Abrahamsson di Wakatobi kemudian diliput oleh Sushma Subramanian, seorang jurnalis Hakai Magazine, yang kegiatan liputannya dibiayai oleh Genetics and Behavior Journalism Fellowship.
Masih banyak orang-orang Suku Bajau yang tidak masuk dalam data catatan sipil, di negara-negara yang terdapat eksistensi mereka. Namun di Indonesia dan Filipina, mereka banyak yang sudah masuk dalam pendataan penduduk resmi. Hal itu lantaran mereka melakukan perniagaan dengan para penduduk daratan di kawasan pesisir. Ada yang menjual rumah kayu jati terapung atau barter dengan rumah panggung penduduk daratan. Misalnya di Wakatobi dan Sampela.
Schagatay menjuluki Suku Bajau sebagai kaum gipsi laut karena cara hidup mereka yang selalu dekat dengan laut, seolah bukanlah kenyamanan bagi orang Bajau bila mereka tinggal di darat. Lautan adalah hidup mereka hingga akhir hayat. Saat dia menanyakan tentang bagaimana masyarakat Suku Bajau bisa menyelam terus menerus selama setengah harian setiap harinya, rupanya kebanyakan jawaban dari mereka menjawab beberapa mitos terkemuka tentang Suku Bajau.
"Tidak ada aksi menusuk gendang telinga secara sengaja dan tidak ada pula tradisi anak bayi diajarkan berenang terlebih dahulu daripada berjalan. Justru masyarakat Suku Bajau mengajarkan anak-anak untuk masuk ke laut pada usia 3-4 tahun. Di bawah usia itu, mereka yakin malah akan mencelakai daripada membuat anak-anak itu jadi jago berenang dan menyelam," ungkap Schagatay.
Sedangkan mengenai mitos bahwa Suku Bajau terlebih dulu merobek gendang telinga mereka, supaya tidak merasa kesakitan oleh tekanan air, tenyata jawabannya adalah gendang telinga mereka sobek karena sering menyelam. Jadi bukan dengan cara merobek gendang telinga secara sengaja untuk bisa menjelajah ke dalam air, tapi lantaran secara tak sengaja akibat frekuensi aktivitas penyelaman mereka yang ekstrim, sehingga gendang telinga pun akhirnya sobek.
No comments:
Post a Comment