KKN Desa Penari Full Cover


Cerita ini rupanya kisah nyata. Saya jadi tergerak ingin menulisnya secara rapi di blog saya. Mengambil sumber dari thread SimpleMan on Twitter, saya mencoba menuliskan kembali dalam bahasa yang lebih umum yang bisa dicerna semua generasi, baik generasi milenial, Gen X, Baby Boomers bahkan kalau masih ada, untuk mereka dari Silent Generation.

SimpleMan menulis bahwa dia telah mendapatkan ijin dari yang punya cerita, untuk menceritakan kisah ini. Ada dua pencerita dalam kisah yang panjang ini, yaitu Nur dan Widya. Simple Man menulis dua versi, namun saya akan menggabungkan keduanya dalam satu tulisan di blog ini.
Sesuai peraturan SimpleMan, bahwa lokasi, kampus, fakultas, semuanya yang berkaitan, dirahasiakan. Bagi yang yang sudah bisa menebak atau mengetahui dimana latar lokasi cerita ini, SimpleMan meminta untuk tidak mengungkap, sebagai penghormatan atas janji penulis kepada si pencerita.

Bagi yang tidak punya banyak waktu membaca, saya juga menyediakan kisah singkatnya di bawah ini :


- Kepala Desa sudah menolak adanya KKN karena desa itu kurang bahkan tak bersahabat dengan penduduk muda belia.

- Peserta KKN maksa ingin tetap KKN di situ dengan janji akan sopan dan jaga etika, namun kemudian mereka melanggar janji itu sendiri.

- Permasalahan seperti trilogi : Nur yang punya semacam guardian angel di tubuhnya, Widya yang sentimentil dan kurang fokus, Ayu yang polos, agak naif.

- Ayu melanggar larangan masuk area terlarang desa itu bersama Bima dan akhirnya mereka masuk jebakan jin.

- Bima sangat tertarik pada Widya dan terlalu bernafsu hingga dimanfaatkan jin hutan.

- Ayu dirasuki jin perempuan, dizinahi Bima.

- Widya dimanfaatkan jin melalui Bima. Nur memergoki Bima dan Ayu sehabis berzina lalu mencoba melindungi Widya dari mereka.

- Widya berhasil dicegah oleh Nur namun Bima dan Ayu sudah dicengkram oleh para jin hutan.

- Bima dan Ayu tewas, sedang Nur dan Widya depresi. Kampus pun sempat dituntut dan desa itu nyaris diberitakan media massa.

Tapi menurut saya, yang lebih mencoba mengarahkannya ke logika, kemungkinan Ayu dan Bima tewas karena dipatuk ular berbisa di sana. Baiklah, bagi yang punya banyak waktu dan ingin membaca lengkap kisahnya, ini dia kisah lengkapnya :



Foto : Brilio.com

Kejadian ini pada akhir tahun 2009, dialami oleh para mahasiswa/wi yang masuk kuliah pada tahun 2005 dan 2006. Karena pada 2009 mereka sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir, mereka harus menyelesaikan tugas terakhirnya, yaitu menyusun skripsi. Untuk menjadi sebuah skripsi, ada banyak cara, bisa penelitian, bisa praktek kerja, dan juga melakukan tugas pengabdian kepada masyarakat atau yang lebih dikenal dengan KKN (Kuliah kerja nyata). Nah mereka memilih KKN untuk membuat skripsi.
Dalam kisah ini ada 6 tokoh mahasiswa/wi yaitu dari yang perempuan : Nur, Widya, dan Ayu. Lalu yang lelaki : Bima, Wahyu, dan Anton. Diawali dari kerisauan Widya, karena sebagai mahasiswa senior dia belum mendapatkan tempat KKN. Suatu malam Widya mendapat panggilan melalui telepon genggam, yang ternyata dari Nur.

"Wid, nang ndi?"(Wid, dimana?)
"Nang omah Nur, yo opo? Wes oleh nggon KKN 'e ?" (Di rumah Nur, bagaimana? Sudah dapat tempat KKN-nya)
"Engkok bengi Wid aku budal karo Ayu, doaken yo." (Nanti malam Wid, aku berangkat sama Ayu, doakan ya)
"Nggih. semoga di acc ya."
"Aamiin," balas Ayu, mematikan telpon.

Detik-demi detik berputar, tanpa terasa malam telah tiba. Nur yang menunggu Ayu merasakan sebuah mobil mendekat. Dari dalam, Nur melihat, sebuah mobil Kijang. Dari mobil keluar sahabatnya Ayu.
Ada sosok lelaki juga di mobil itu. Nur memperkirakan mungkin itu adalah mas Ilham, kakaknya Ayu. "Ayo budal," kata Ayu menggandeng Nur agar segera masuk ke dalam mobil. Mas Ilham turun membawakan barang Nur, kemudian mobil pun mulai berangkat.

"Adoh gak Yu?" (Jauh tidak Yu?), tanya Nur.
"Paling 4 sampe 6 jam, tergantung, ngebut ora." (Paling 4 sampai 6 jam, tergantung ngebut atau tidak)
"Sing jelas, desa'ne apik, tak jamin, masih alami. Pokok'e cocok gawe proker sing kene susun wingi." (Yang jelas, desanya bagus, dijamin, masih alami. Pokoknya cocok buat proker yang kita susun kemarin).

Ayu terlihat begitu antusias, sementara Nur, merasa tidak nyaman. Banyak hal yang membuat Nur bimbang, salah satunya, tentang lokasi dan sebagainya. Sejujurnya, ini kali pertama Nur, pergi ke arah etan (Timur) sebagai, perempuan yang lahir di daerah kulon (Barat) ia sudah seringkali mendengar rumor tentang arah etan. Salah satunya, kemistisan-nya.
Mistis sebenarnya bukan hal yang baru bagi Nur. Bahkan ia sudah kenyang dengan berbagai pengalaman akan hal itu, saat menempuh pendidikanya sebagai santriwati. Dia mencoba mengabaikan perasaannya, namun tidak mudah. Malam itu, belum pernah Nur merasa setidak enak itu.
Benar saja. Perasaan tidak enak itu terus bertambah seiring mobil terus melaju. Salah satu pertanda buruk itu adalah ketika sebelum memasuki kota J, dimana tujuanya kota B. Nur melihat kakek-kakek yang meminta uang di persimpangan. Si kakek seakan melihat Nur dengan tatapanya yang prihatin. Bukan hanya itu saja, si kakek mengelengkan kepalanya, seolah memberikan tanda pada Nur yang ada di dalam mobil, agar mengurungkan niatnya. Namun Nur tidak bisa mengambil spekulasi apapun karena ada temanya yang lain, Widya, yang menunggu kabar baik dari observasi hari itu.
Hujan tiba-tiba turun. Tanpa terasa, 4 jam lebih perjalanan sudah ditempuh. Mobil berhenti di sebuah rest area yang sepi, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Nur dalam lanjutan perjalanan melihat hutan gelap, yang memanggil-manggil namanya. "Hutan. Desa ini ada di dalam hutan," mas Ilham membuka keheningan.
Nur tidak berkomentar. Dia hanya berdiri di samping mobil yang berhenti di tepi jalan hutan ini. Sebuah hutan yang sudah di kenal oleh semua orang Jawa Timur, Hutan D********.
Tidak beberapa lama, suara motor terdengar dengan nyala lampunya. Mas Ilham, melambaikan tanganya. "Iku wong deso'ne, melebu'ne kudu numpak motor, gak isok numpak mobil soale." (Itu orang desanya, masuknya harus naik motor, mobil tidak bisa masuk soalnya).
Nur dan Ayu, mengangguk, pertanda ia mengerti. Tanpa berpikir panjang, Nur sudah duduk di jok belakang motor. Mereka pun berangkat memasuki jalan setapak dengan tanah tidak rata. Membuat Nur harus memegang kuat jaket bapak yang memboncengnya.

Firasat

Tanah masih lembab, di tambah embun fajar sudah terlihat disana-sini, malu-malu memenuhi pepohonan rimbun. Nur ini memiliki kemampuan melihat sesuatu yang ganjil. Dia melihat sesosok wanita yang sedang menari di atas batu. Kilatan matanya tajam dengan paras elok cantik. Si Wanita, tersenyum menyambut tamu yang sudah ia tunggu. Melihatnya dari balik jalan lain, Nur mendapati si wanita sudah hilang tanpa jejak.
Dia tahu, dirinya sudah di sambut dengan entah apa itu. Memasuki Desa, mas Ilham berpeluk kangen dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengan ayahnya di rumah. Pria itu ramah dan murah senyum. Dia menyambut tangan Nur, memperkenalkan diri.

"Kulo Prabu." (Saya Prabu).
"Sepurane Ham, aku eroh, kene wes kenal suwe, tapi deso iki gak tau loh gawe kegiatan KKN." (Saya minta maaf ham, aku tahu, kita sudah kenal lama, tapi desa ini tidak pernah di pakai kegiatan KKN).
"Tolonglah mas" kata mas Ilham, "Dibantu, adikku."
Suasana saat itu tegang. "GAK ISOK HAM" kata pak Prabu menekan mas Ilham dengan ekspresi tak terduga.
"Ngeten loh pak, ngapunten, kulo nyuwun tolong, kulo bakal jogo sikap ten mriki, mboten neko-neko, tolong pak," (Begini loh pak, maaf, saya minta tolong, saya akan menjaga sikap disini. Saya tidak akan aneh-aneh. Tolong pak) ucap Ayu, matanya berlinangan air mata.
Ilham tidak pernah melihat Ayu sengotot ini. Mimik wajah pak Prabu yang sebelumnya mengeras, kini melunak.
"Piro sing KKN dek?" (Berapa yang KKN nanti dik?)
Dengan bersemangat Ayu menjawab, "Enam Pak"

Hari itu berakhir dengan persetujuan pak Prabu dan tentu saja, masyarakat sekitar. Sebelum meninggalkan tempat itu, Ayu dan Nur berkeliling memeriksa desa sebentar. Disana, Nur sudah tahu proker apa saja yang akan menjadi wacana mereka. Salah satunya, kamar mandi dengan air sumur. Ia tahu, masyarakat mendapatkan akses air hanya dari sungai. Jadi terpikirkan bahwa mungkin sumur lebih efisien.
Di tengah mereka merundingkan berbagai proker kelak, Nur terdiam melihat sebuah batu yang di tutup oleh kain merah. Di bawahnya ada sesajian, lengkap dengan bau kemenyan. Diatasnya, Nur melihat sosok hitam berdiri dengan mata picing, menyala merah. Meski hari siang bolong, Nur bisa melihat kulitnya yang di tutup oleh bulu serta tanduk kerbau. Mata mereka saling melihat satu sama lain. Nur lalu mengatakan pada Ayu, bahwa mereka harus pulang.

"Lapo to Nur, kok gopoh men." (Kenapa sih Nur, kok kamu buru-buru pergi),
"Kasihan mas Ilham, wes ngenteni," ucap Nur.
"Yo wes, ayok," Ayu menimpali.
Mereka pun segera naik motor. Sebelum keluar dari desa itu, sosok yang Nur lihat, apalagi bila bukan genderuwo.
"Nur, jak'en Bima, yo, ambek Widya, engkok ambek kenalanku, kating," (Nur, ajak si Bima, sama Widya, sama kenalanku kating.) ucap Ayu didalam mobil.
"Bima, lapo ngejak cah kui." (ngapain sih ngajak Bima).
"Ben rame, kan wes kenal suwe." (Biar rame, kan sudah kenal lama).
"Kok gak awakmu sing ngejak to?" (Kenapa bukan kamu saja yang ngajak?).
"Kan awakmu biyen sak pondok'an, wes luwih suwe kenal." (Kan kalian pernah satu pondok, jadi sudah kenal lebih lama).
"Pokok'e jak en arek iku yo." (Pokoknya ajak anak itu ya).
"Yo wes, iyo."
"Tak telpone Widya, ben cepet di gawekno proposal'e mumpung pihak kampus gurung ngerilis daftar KKN'e, gawat kalau pihak kampus wes ngerilis yo, mumpung wes oleh enggon KKN dewe," (Biar Widya tak telpon, biar cepat di buatkan proposalnya mumpung kampus belum buat daftar KKN-nya, bisa gawat kalau sampai kampus udah buat daftarnya, mumpung kita sudah punya tempat KKN nya)," kata Ayu.

Ayu kemudian menelfon Widya yang sedang ada di kampus pagi itu, "Aku wes oleh nggon KKN 'e" (aku sudah dapat tempat untuk KKN). Wajah muram Widya berubah menjadi senyuman penuh harap.
"Nang ndi?" (dimana?).
"Nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (Di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker (program kerja, red) untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita).

Saat itu juga, Widya segera mengajukan proposal KKN. Semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang. "Tenang," kata Ayu.
Hari pembekalan pun tiba. Apa yang Ayu katakan terbukti. Muncul Bima dengan Nur. Nur menyampaikan, kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah disetujui.

"Sopo sing gabung Nur?" (Siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu,
"Temenku. Kating (kakak tingkat, red), 2 angkatan di atas kita. Satunya lagi, temannya."
Lega sudah batin Widya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya 2 orang yang akan bergabung dalam kelompok KKN mereka pun muncul. Namanya adalah Wahyu dan Anton.

Surat keputusan KKN pun disetujui semuanya. Terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan diadakan kurang lebih sekitar 6 minggu. Hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.
Mereka pun membicarakan semua proker dan menentukan jadwal keberangkatan. Semua anak sudah setuju, termasuk Widya. Namun Widya hampir sepanjang hari terus menceritakan, bahwa ibunya memiliki firasat yang buruk pada tempat KKN mereka.
Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orangtuanya tentang progress KKN yang wajib ia tempuh. Ketika orangtua Widya bertanya kemana proyek KKN mereka, terlihat raut wajah tidak suka dari ibunya.

"Gak onok nggon liyo? Lapo kudu gok Kota B," (Apa gak ada tempat lain, kenapa harus kota B) wajah ibunya menegang.
"Nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di nggoni gawe menungso." (Di sana tempatnya bukanya hutan semua, tidak bagus ditinggali oleh manusia).
Namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi, wajah ibunya melunak.
"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh?" (Perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi?).

Widya enggan melakukanya. Maka meski berat, kedua orang tuanya pun terpaksa menyetujuinya. Nur hanya diam dan mendengar cerita Widya itu, karena di dalam dirinya, ia merasakan hal yang sama.

Malam keberangkatan, Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu, dan Anton sudah berkumpul. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil Elf yang sudah mereka sewa untuk mengantarkan mereka ke pemberhentian dimana nanti mereka akan di jemput oleh warga desa. Nur masih bisa melihat temannya, Widya, memasang wajah tidak nyaman.

"Numpak opo dik kene?" (Naik apa kita nanti?) kata Wahyu.
"Elf mas" jawab Nur.
"Sampe deso'ne numpak Elf dik?" (Sampai desanya naik mobil Elf, dik?)
"Mboten mas. berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput," (Tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur.
Mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati mobil ta?" (Yu, apa desanya tidak bisa di masuki mobil"
Ayu hanya menggelengkan kepala. "ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan" (Tidak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan). Dsinilah. cerita ini di mulai.

Hanya sebuah harap yang Nur panjatkan, bahwa mereka berangkat dengan utuh dan semoga, pulang dengan utuh juga. Tetapi, tidak ada yang tahu, doa seperti apa yang akan di ijabah oleh tuhan.

Desa Penari

Gerimis mulai turun, sepanjang perjalanan, Nur hanya melihat ke jalanan yang lengang. Di sebuah pemberhentian lampu merah, seseorang menggebrak kaca mobil Elf-nya. Nur begitu terkejut sampai tersentak mundur dari dalam mobil. Nur melihat pengemis tua, dia terus menggebrak mobil, membuat semua yang ada didalam mobil kebingungan, termasuk si sopir. Akhirnya sopir berteriak agar lelaki tua itu berhenti sembari melemparkan recehan. Nur melihat dari bibir pengemis berucap, "Ojok budal ndok!" (Jangan berangkat nak!) suaranya terdengar familiar, seperti suara wanita tua.
Sesuai apa yang Nur katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, setelah menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S. Tanpa terasa hari sudah mulai petang, ditambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas. Gerimis mulai turun, lengkap sudah. Setelah menunggu, terlihat rentetan cahaya motor mendekat dari seberang jalan setapak.
Nur mengatakanya, "Iku wong deso sing nyusul rek." (Itu orang dari desanya yang jemput kita). Rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut. "Cuk. sepedaan tah" kata Wahyu spontan. Entah disengaja atau tidak, ucapan yang di anggap biasa di kota S, di tanggapi lain oleh para lelaki itu. Wajahnya tampak tidak suka dan sinis tajam melihat Wahyu. Hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu hanya Widya seorang. Apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.
Tanpa membuang waktu, mereka pun melanjutkan perjalan. Jalanan setapak dengan lumpur karena gerimis, pohon besar dan gelap dengan kabut di sana-sini terlihat di sepanjang perjalanan. Hanya terdengar suara motor berderu, tanpa ada suara binatang malam.
Di tengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja. Ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali.
Sudah satu jam dan menit terus berjalan, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan. Khawatir bahwa yang dimaksud Ayu setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai.
Di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara. Aneh. Apa semua warga disana pendiam semua? Malam semakin gelap dan hutan semakin sunyi sepi. Namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat.
Kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya. Apakah ia siap menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah desa, jauh di dalam hutan. Ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.
Suara familiar dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, membaur menjadi alunan suara gamelan. Apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini? Nur mengamati tempat itu. Aroma bunga melati tercium menyengat di hidungnya.
Masih mencari, dari mana suara itu terdengar, tepat di antara rerumputan di samping jalan setapak, terlihat seorang wanita menunduk. Dia menunduk kemudian melihat Nur diikuti dengan lenggak-lenggok lehernya, serta ayunan gerakan tangan dan lenganya, seirama dengan suara gamelan. Nur melihat wanita itu menari.
Menari di tengah malam, di tengah kegalapan hutan yang sunyi senyap. Gerakanya begitu anggun. Meski motor terus bergerak, Nur bisa melihat ia menari dengan sangat mempesona, seakan-akan ia bertunjuk untuk sebuah panggung yang tidak bisa Nur lihat.
Siapa yang menari di malam buta seperti ini? Nur terdiam dalam kengerian yang ia rasakan sendirian. Dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu menyambut mereka.

Ketika motor berhenti dan sampai di desa, Nur tidak mengatakan apapun. Terlihat pak Prabu menyambut mereka. "Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.

"Mrene rek" teriak Ayu. Di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang dengan kumis tebal. Mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.

"Kenalno, niki pak Prabu. Kepala desanya. Koncone mas'ku. Pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan." (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN).

Pak Prabu memperkenalkan diri dan bercerita tentang sejarah desanya. Di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab.

"Pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dhalan gede cuma setengah jam kok" (pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit).

Tatapan bingung Widya disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan. Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapun, termasuk wajah Ayu yang memerah entah karena malu atau apa. Mungkin, Ayu merasa Widya sudah melakukan hal yang tidak sopan, sebagai tamu, Widya memang seharusnya tidak mengatakan itu. "

Maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? Garai sungkan ae." (Maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu). Di situ Widya menyadari, ada yang salah.
"Mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal." (Mbaknya mungkin lelah, jadi mari, tak antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal).

Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa. Meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (ranjang tidur) beralasakan tikar. Sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.

Mereka masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang tidak berkeberatan untuk mereka tinggali selama menjalankan tugas KKN mereka itu. Di rumah itu rupanya perdebatan Widya dan Ayu berlanjut.
Di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebat.

"Koen iku kok ngeyel seh, wes dikandani, gak sampe setengah jam iku mau." (Kamu kok keras kepala, sudah dikasih tahu tadi tidak sampai setengah jam).
Nur, lebih memilih untuk diam. Di tengah perdebatan antara Widya dan Ayu, tiba-tiba dari balik pohon jauh, sosok hitam dengan mata merah tengah mengintai mereka. Sialnya, hanya Nur yang melihat.
Akhirnya perdebatan itu selesai, Nur meninggalkan sosok itu yang masih mengintip dari balik pohon. Nur masih melihat. Untuk apa genderuwo itu mengintainya. Namun, tiba-tiba, Widya mengatakan sesuatu yang membuat Nur tidak bisa mengabaikanya.

"Ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (Begini, kamu dengar apa tidak di jalan tadi? Ada suara orang memainkan gamelan?)
"Yo paling onok hajatan lah, opo maneh," (Ya paling ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi?) kata Ayu.

Berbeda dengan Ayu, Nur menatap Widya dengan ngeri. Sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka, berkata. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon  kene, iku pertanda elek." (Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk).
Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak. 

"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu." (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong hal yang tidak masuk akal begini). Ayu pun pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.

Nur lalu mengatakan pada Widya, "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu). "Masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi). "Astaghfirullah!" kata Widya tidak percaya. Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
Benar kata ibunya tempo hari, "Banyu semilir mlayu nang etan." (Air selalu mengalir ke arah timur), yang memiliki makna bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk. Dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur.

Kisah mengerikan

Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja. Ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Nur dan Ayu pergi ke pawon (dapur). Wajah Nur, masih tegang, ia masih ingat, matanya tidak mungkin salah, ia melihat makhluk itu.

"Yu, aku takon. awakmu gak ngerasa aneh tah gok deso iki, awakmu  jek iling, kok iso-isone pak Prabu sampek ngelarang keras, kene KKN nang kene. opo awakmu gak curiga blas tah?" (Yu, aku mau tanya, kamu tidak merasa anehkah? Di desa ini, kamu ingat, kok bisa-bisanya pak Prabu sampai melarang keras kita KKN disini? Apa kamu tidak curiga?).
"Opo seh maksudmu ngomong ngunu?!" (Apa sih maksudmu ngomong kaya gitu?!) ucap Ayu ketus.
"Bekne, pak Prabu nduwe alasan, lapo ngelarang awak dewe KKN nang kene." (Mungkin, pak Prabu punya alasan kenapa melarang kita KKN disini).
"Nek awakmu ngomong ngene, soale perkoro Widya mau, ra masuk akal Nur, awakmu melu observasi nang kene kan ambek aku, opo onok sing aneh? gak kan. wes talah, mek pirang minggu tok ae loh" (Kalau kamu ngomong begini karena perkara Widya tadi, tidak masuk akal Nur. Kamu sendiri ikut aku observasi disini bukan? Apa ada yang aneh? Tidak toh, sudahlah, ini cuma beberapa minggu aja).

Memang sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab. Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J". Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini. Ayu pergi, meninggalkan Nur. Sementara Nur, tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat, Ayu bahkan tidak percaya dengan hal yang gaib. Nur pun mengalah lagi.

"Nur!" Widya memanggil. Nur pun menatap wajahnya yang sayu, tampak ia baru saja menangis. Tidak aneh memang, siapa yang tidak akan menangis bila merasakan hal yang bahkan tidak masuk akal seperti itu.
"Isok gak, aku jalok tulung," (bisa aku minta tolong) ucap Widya. "Tolong, ojok ceritakno yo, soal aku krungu gamelan mau, gak enak ambek warga kampung, kene kan tamu nang kene" (Tolong jangan ceritakan ya, soal tadi, soal aku dengar gamelan. Aku gak enak kalau sampai kedengaran warga desa. Kita kan tamu disini).

Nur hanya mengangguk. Namun, sebelum Widya beranjak dari tempatnya, Nur tiba-tiba mengatakanya, 
"Wid, asline aku mau yo krungu suara iku mau, malah, aku ndelok onok penari'ne nang pinggir tulangan mau." (Wid, sebenarnya aku juga mendengar suara gamelan itu. Malah, aku melihat ada yang menari disana).
"Wes, Nur, jogo awak dewe-dewe yo, insyallah, gak bakal onok kejadian opo-opo nek kene hormat lan junjung unggah-ungguh selama nang kene." (Sudah Nur, jaga diri baik-baik, ya, insyAllah, tidak bakal terjadi apa-apa, kalau kita hormat dan menjunjung sopan santun selama tinggal di tempat ini). 

Ucapan Widya setidaknya membuat Nur sedikit lebih lega. Namun, Nur tidak menceritakan tentang sosok hitam yang mengintai mereka.

Malam pertama, Nur, Ayu dan Widya tidur dalam satu kamar yang sama. Mereka sepakat untuk menggelar tikar. Nur ada di tengah, sementara Ayu dan Widya ada disamping kanan dan kiri Nur. Terdengar binatang malam bersahut-sahutan, berlomba untuk menunjukkan eksistensinya. Manakala Nur sadar, dua sahabatnya sudah tertidur lelap. Ia terjaga sendirian menatap langit-langit yang berupa genting hitam dengan sarang laba-laba.
Rumah desa, tentu saja, pikir Nur, memaklumi. Sekat kamarpun tidak menyentuh langit. Jadi Nur bisa melihat celah disana. Ketika memikirkan kejadian hari ini, Nur tiba-tiba tersadar, bahwa suara riuh binatang malam tidak lagi terdengar. Berganti dengan suara sunyi yang membuat telinga Nur menjerit dalam ngeri.
Perasaan tidak enak, tiba-tiba muncul begitu saja. membuat Nur lebih awas. Ketika pandanganya mencoba mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, di tengah cahaya lampu petromaks yang memancarkan sinar temaram, di sudut sekat kamar, sosok bermata merah mengintipnya.
Nur tercekat, ia beringsut mundur, menutup wajahnya dengan selimut yang ia bawa. Pancaran wajahnya terbayang di dalam kepala Nur. Mengingatnya benar-benar membuat jantung di dadanya berdegup kencang. Ia masih ingat tanduk kerbau di kepalanya, pancaran amarahnya seolah membuat Nur semakin tersudut dalam ketakutan.
Tanpa sadar, Nur mulai membaca Ayat Kursi. Satu dari banyak ayat yang diajarkan gurunya untuk menolak rasa takut, untuk menunjukkan manusia memiliki kekuatan untuk melawan. Namun, setiap ia menyelesaikan satu panjatan doa, di ikuti oleh suara papan kayu yang di gebrak dengan serampangan. Kerasnya suara itu menghantam. Nur mulai menangis, menangis sendirian. Ia tahu makhluk itu masih disana, tidak terima dengan apa yang ia lakukan. Salahkah bila ia meminta bantuan pada Tuhan?
Tepat ketika isi hati Nur menyeruak, perlahan, suara itu menghilang berganti hening. Nur terbangun ketika adzan subuh memanggil. Ia masih belum mengerti, apakah itu mimpi atau benar-benar terjadi.
Yang dia tahu, adalah kewajiban menjalankan tugasnya sebagai seorang muslimah yang taat, tidak boleh meninggalkan sholat. Nur hanya meyakinkan dirinya tidak akan bercerita, bahkan kepada 2 sahabatnya, atas apa yang baru saja menimpanya.
Pagi hari, pak Prabu mengumpulkan semua anak, mengatakan bahwa pagi itu dia akan  memperkenalkan keseluruhan desa, dan mana saja yang bisa di jadikan proker untuk mereka kerjakan sesuai kesepakatan per anak. Pak Prabu menjelaskan sembari berjalan, sementara anak-anak mengikutinya. Tidak ada yang menarik dari penjelasan pak Prabu tentang desa itu. Bahkan pak Prabu terkesan menyembunyikan sejarah desa itu, membuat Nur semakin curiga. Selain hal-hal umum, hanya Wahyu, kating-nya yang selalu menimpali ucapak pak Prabu dengan candaan. Membuat tawanya pecah semua, terasa alami.

"Ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi" kata pak Prabu. Bahasanya medok, campur-campur antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Mendengar itu, Wahyu menimpali, "Iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah." (Itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah).
Wahyu melanjutkan, "Bapak'e ambil apa dulu? perhutanan ya?"
"Bukan," kata beliau santai. "Pertanian."
"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (Lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)
"Ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah."
Jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah. Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.

Sampailah, mereka di pemberhentian pertama, sebuah pemakaman desa. Aneh. Itu yang pertama kali di pikirkan Widya atau mungkin serombongan orang. Kenapa di setiap nisan, di tutup oleh kain hitam.
Pemakamanya sendiri di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya. Di sana, ada lengkap sesajen di depanya. Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam.
Nur merasakan angin dingin, seperti mengelilinginya. Ia tahu ada yang tidak beres dengan tempat ini. Seakan-akan, tempat ini, sudah menolaknya. Ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. Pagi itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.

"Ngapunten pak, niki nopo nggih kok.." (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok..).
Belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya, "Saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?"
Widya mengangguk. Rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton. Mereka masih tertawa kecil.
"Ini namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. Jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman," terang pak Prabu. Jawabannya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas. Sampai-sampai Wahyu dan Anton, walaupun pelan, sengaja menyindir, "Wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (Orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak).

Namun pak Prabu bisa mendengarnya. Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak. "Semoga saja, kalian tahu yang di omongkan ya!"

Kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan. Sontak Bima langsung merespon dengan meminta maaf. Namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu. "Monggo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya," kata Bima.
Tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah). Pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan proker paling menjanjikan. Tidak jauh darisana ada sungai. Keinginan pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan menjadi semcam jalan air.
Sikap pak Prabu yang tiba-tiba terpicu oleh kalimat Wahyu, kemudian melontarkan ucapan bernada mengancam, ditangkap Nur seakan-akan pak Prabu menjaga sesuatu yang sakral namun mengancam. Apa yang pak Prabu sebenarnya sembunyikan? Untungnya Bima langsung menengahi insiden itu, membuat pak Prabu kembali menjadi pak Prabu yang sebelumnya.

Namun, Nur seakan tahu. Ia pun tidak sanggup lagi mengikuti kegiatan keliling desa ini. Maka dia ijin pamit untuk kembali ke penginapan. Untungnya pak Prabu mengijinkanya. Bima pun menawarkan diri untuk mengantar Nur. Dan pak Prabu sekali lagi, mengijinkan.
Semua anak melanjutkan tour mereka bersama pak Prabu, sementara Nur dan Bima, berjalan kembali ke area rumah tempat mereka menginap. Selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan. Yang paling mencolok adalah tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh. Lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan di sana, ditambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang. Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.

Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan. "Tapak Talas" kata pak Prabu. Sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan. Di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning, layaknya pernikahan. "Kenapa tidak boleh pak?" tanya Ayu penasaran.
Pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya. "Iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?" (Itu adalah hutan belantara, tidak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?). Sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. Namun perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
Di tempat terpisah, terjadi dialog antara Nur dan Bima di sela perjalanan mengantar Nur kembali istirahat ke rumah. "Onok opo Nur? setan maneh?" (Ada apa Nur? ada hantu lagi?). Dari semua anak, memang tidak ada yang lebih mengenal Nur daripada si Bima, temanya bahkan saat mondok dulu. Nur hanya tersenyum kecut, menjawabnya seadanya, bila mungkin kesehatanya sudah menurun, namun Bima tahu, Nur berbohong.

“Nang kuburan mau, rame ya?" (Di pemakaman tadi, rame ya). Ucapan Bima tidak di gubris sama sekali oleh Nur, sehingga Bima akhirnya menyerah, di tengah perjalanan pulang itu, tiba-tiba Bima menanyakan sesuatu yang membuat Nur menaruh curiga pada Bima.
"Nur, aku takok. Widya wes nduwe pacar rung?"(Nur, mau tanya, Widya itu sudah punya pacar apa belum?)
"Piye?" (Bagaimana?) tanya Nur lagi.
"Kancamu." (temanmu). "Widya loh, wes onok pacar opo durung?" (Widya loh, sudah punya pacar apa belum?)
"Takono dewe ae yo." (Tanyakan sendiri saja ya).
Nur tahu, Bima suka kepada Widya hari itu.

Nur yang menghabiskan sebagian siangnya di dalam kamar, terbangun ketika Ayu memanggilnya. Semua anak sudah berkumpul dan Ayu menunjukkan proposal proker mana saja yang sudah di setujui pak Prabu. 
Dimana Ayu, membagi menjadi 3 kelompok : Widya dengan Wahyu, Nur dengan Anton, dan Bima dengan Ayu. Semua anak sepakat, tidak ada yang komentar banyak, mengingat, Ayu yang paling berjasa sehingga bisa mendapatkan tempat KKN tanpa campur tangan pihak kampus.
Wahyu dan Anton kemudian bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi. Alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.
Tapi pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya. Di sana, bisa di gunakan untuk mandi. Dan pak Prabu mengatakan bahwa mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan di usahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan. Untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.
Lusa, adalah awal dari persiapan proker mereka.sore datang, ketika Nur baru saja selesai merapikan barangnya untuk persiapan proker kelompok, Widya masuk ke kamar.

"Nur, ados yok." (Nur, mandi yuk).
"Nang ndi?" (Dimana?) tanya Nur.
"Nang Bilik sebelah kali, cidek Sinden kui loh, eroh kan awakmu, kolam cilik." (Di bilik sebelahnya sungai, ada sebuah bilik kecil, tahu kan, yang bangunanya kaya kolam itu loh).

Nur, tidak menjawab. Namun setelah memikirkan, bahwa ia belum membasuh badanya sejak pertama kali datang kesini, ia pun setuju. Dengan syarat, Nur mau menjadi yang pertama mandi. Selama perjalanan, mereka melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam). Langit sudah merah dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden.
Bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil. Bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut. Saat melewati Sinden, Nur sudah merasakan perasaan tidak nyaman. Sinden itu terdiri dari anak tangga yang di susun dengan batu bata merah. Tampaknya bangunanya sudah sangat tua, ada air jernih di dalamnya. namun, Nur tidak pernah melihat ada yang menggunakan air itu.
Selain itu, fokus Nur tentu pada bentuk menyerupai candi kecil di belakangnya dan di pelataran candi. Ada sesajen, hal yang sudah lumrah di tempat ini, hanya saja, Nur tidak melihat adanya gangguan saat ia mengamati Sinden itu.
Setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah Bilik itu. Tepat di samping pohon asem yang besar sekali, rindang, mengerikan. Sempat ragu namun Widya mengatakan lanjutkan. Rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu.
Air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk. Sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya. Di sampingnya, ada sesajen itu. Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur.
Setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri. Di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajennya. Yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar. Antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik. Dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.

"Nur" "Nur" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam. Nur yang di dalam bilik, saat baru masuk langsung mencium aroma amis. Seperti aroma daging busuk. Namun Nur mencoba mengerti, mengingat biliknya sendiri tidak terlihat seperti kamar mandi yang bersih. Lantainya dari tanah, sedangkan kiri-kanan di penuhi lumut. Jadi Nur mencoba memaklumi.
Ia pun segera membasuh badanya dengan air di dalam kendi. Namun, ada perasaan aneh ketika air membilas badanya. Seperti ada benda kecil, yang mengganjal saat bersentuhan dengan kulit Nur. Ketika, di perhatikan dengan seksama apa yang ada di dalam kendi, air itu di penuhi rambut. Nur kaget, istighfar terus menerus sembari ia beringsut mundur.
Ia mencoba memanggil Widya. Namun aneh, tidak ada jawaban apapun dari Widya yang seharusnya ada di luar bilik. Nur, dengan berselimut handuk, mencoba membuka pintu bilik. Namun, pintu seperti di tahan oleh orang yang ada di luar. "Wid, bukak! Wid bukak!" teriak Nur, sembari menggedor pintu anyam bambu itu.
Namun, tetap tidak ada jawaban apapun dari Widya. Sampai Nur menyadari, di belakangnya ada sosok hitam, besar sekali, sampai menyentuh langit bilik. Nur pun memejamkan mata rapat-rapat. Yang pertama ia lakukan adalah istighfar kencang-kencang. Sembari tanganya mencari batu di tanah bilik, ketika tanganya berhasil meraih sebuah batu.
Nur melemparkan kuat-kuat batu itu, sembari mengucap doa yang di ajarkan gurunya bila bertemu lelembut. Sampai sosok itu lenyap,b utuh waktu untuk Nur menenangkan diri. Dia tahu, dirinya sudah di incar. Namun dia heran kenapa dirinya diincar, padahal dia tidak melakukan apapun yang membuatnya diincar. Bahkan bila lantaran dia secara tidak sengaja melihat makhluk itu, seharunya bukan hanya dirinya yang sial, tapi makhluk itu juga sial.

Sementara di luar ternyata Widya masih berusaha memanggil dan tidak ada respon dari dalam. Tiba-tiba terdengar sayup suara lirih. Lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik. Suara orang sedang berkidung. Kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan. "Nur. bukak Nur!! bukak" spontan Widya menggedor pintu dengan keras. Dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik.

"Nyapo to, Wid?" (Kenapa sih Wid?).
"Hah? Gak popo," ucap Widya saat itu.
"Wes ndang adus, ben aku sak iki seng jogo, cepetan yo, wes peteng" (Ayo mandi, biar aku yang jaga, cepat ya, sudah mau malam).

Awalnya Widya tampak ragu. Dia seperti mau mengurungkan niatnya. Tidak hanya itu, Widya seperti mau mengatakan sesuatu namun kemudian mengurungkanya. Dia kemudian menutup pintu bilik. Bagian dalam bilik terasa sangat lembab bagi Widya. Kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi besar. Setengah airnya sudah terpakai, Widya meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur. Widya mulai membuka bajunya perlahan. Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia pun menyadari dirinya tidak sendiri.

Suasananya seperti ada sosok yang melihat dan mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita. Masalahnya, Widya tidak tahu menahu siapa pemilik wajah. Dia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal. Meraih air pertama yang membasuh badanya, Widya merasakan dingin air itu membilas badanya.
Sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulu kuduk merinding. Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya. Siapa pemilik wajah cantik itu?
Kemudian, kidung itu terdengar lagi. Widya berbalik, mengamati, suaranya dari luar bilik. Tempat Nur berdiri seorang diri. Apakah Nur yang sedang berkidung? Pertanyaan itu menancap keras di kepala Widya.
Nur yang berjaga di luar, sayup-sayup mendengar suara orang berkidung. Penasaran, Nur mulai mencari sumber suara, dan berakhir pada gemah dari dalam bilik. Takut hal buruk terjadi, Nur mencoba memanggil Widya, menyuruhnya agar ia segera menyelesaikanya. Namun Widya tidak menjawab teriakannya. Suara kidung itu terdengar semakin jelas. Dari samping Bilik, ada semak belukar. Nur mencoba melempar batu dari sana. Namun ia terperanjat saat tahu, dibelakang bilik ada sesaji lengkap dengan bau kemenyan dibakar.
Nur mencoba mengabaikanya, tetap berusaha memanggil sahabatnya. Sampai dari salah satu celah, ia melihat yang didalam bilik. Rupanya bukan Widya, melainkan sosok cantik jelita. Siapa lagi bila bukan, si penari yang Nur lihat di malam kedatanganya di desa ini.
Wanita cantik itu, membasuh badanya dengan anggun, sembari berkidung dengan suara yang membuat Nur tidak tahu harus berujar apa. "Dimana Widya?" pikir Nur. Dia tidak menemukan sahabatnya, tidak dimanapun dari tempatnya melihat. Sampai sosok itu tersenyum seolah tahu, Nur melihatnya. Lalu, ia bergerak menuju pintu, membukanya.
Saat itu, yang keluar bukan si penari. Nur melihat Widya, keluar dengan wajah kebingungan. 

Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya. "Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu bisa bersenandung lagu Jawa ya?).
Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam. Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. Ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu. Nur memikirkan apa yang baru saja ia lihat bukan hal kebetulan semata. Seperti sebuah pesan. Pesan apa? Widya dalam bahaya atau malah dirinya yang sedang dalam bahaya.
Malam setelah sholat isya, Nur berpamitan kepada Ayu dan Widya. Ia ingin menemui pak Prabu, untuk pengajuan proposal prokernya. Ayu sempat bertanya pada Nur, apakah Anton menemani, namun Nur mengatakan, ia bisa sendiri. Meski Ayu juga menawarkan diri, namun Nur menolaknya, karena ada hal yang mau di luruskan. Bukan prokernya, namun apa yang sebenarnya terjadi disini. Pak Prabu pasti tahu sesuatu, setidaknya itu asumsi Nur.
Seakan-akan ada yang membisikinya bahwa, ia harus pergi ke rumah pak Prabu, dia pun berangkat. Benar saja. pak Prabu sudah duduk di teras rumah, seakan-akan, beliau telah menunggunya. Namun, ada sosok lain yang duduk bersamanya, seorang lelaki renta. Ia duduk, sembari mengisap bakau lintingan. Dan ketika Nur datang, si lelaki tua, tersenyum seperti mengenalinya.
Nur mendekat, memberi salam. Pak Prabu tersenyum ramah seperti biasanya, lalu mempersilahkan Nur duduk. Namun, Nur lebih tertuju pada 3 gelas kopi yang tersaji.

"Niki tiang'e ten pundi to pak, kopi'ne kelebihan setunggal?" (Ini yang punya kemana ya pak, kopinya kelebihan satu?).
"Iku kopi, gawe awakmu, cah ayu." (Itu kopi untuk kamu, mbak yang cantik).
"Ngapunten mbah, kulo mboten ngopi." (Mohon maaf kek, saya tidak minum kopi).
"wes ta lah, di ombe sek, gak oleh nolak paringane tuan rumah nang kene yo. Gak apik" (Sudahlah, di minum dulu, tak baik menolak pemberian tuan rumah disini. Tidak bagus pokoknya).
"Nggih pak" ucap Nur.

Ketika Nur menyesap kopinya, aneh, kopi itu terasa seperti aroma melati. Rasanya manis, dan ia tidak menemukan ampas, padahal dari luar, kopi itu terlihat seperti kopi hitam yang sekali lihat, bisa di rasakan rasanya akan sepahit apa.
Si mbah bertanya, "Yo opo rasane?"

"Enak mbah."
Si mbah mengangguk puas, kemudian bertanya kembali. "Sak iki ceritakno, onok opo, cah ayu mrene?" (Sekarang, kamu boleh cerita, kenapa kamu kesini anak cantik?).
"Kulo bade tandet ten pak Prabu mbah" (saya mau tanya sama pak Prabu kek).
"Takon perkoro?" (Tanya soal?)
"Kulo di ketok'e memedi sing gedeh mbah, kulo wedi mbah, nganggo salah ten mriki, ngapunten nek kulo enten salah nang njenengan warga mriki." (Saya di ikuti oleh sosok besar kek, saya takut. apa saya sudah melakukan kesalahan, sehingga saya dikejar, apa ada yang saya perbuat dan membuat tidak nyaman warga sini, saya minta maaf sebesar-besarnya).

Saat itulah, pak Prabu bicara, "Ndok, guk salahmu kok, sing ngetutke awakmu, iku ngunu, gak nyaman, mbek sing mok gowo" (Nak, ini bukan salahmu, alasan kenapa kamu diikuti, karena kamu bawa sesuatu dari luar).

"Maksude yok nopo pak, kulo mboten ngetos maksud njenengan." (Maksudnya bagaimana pak, saya tidak mengerti maksud Anda).
Si kakek, kemudian melanjutkan. "Awakmu ndok, iku ngunu, onok sing njogo, yo. sopo?? mbah dok, nah, iku sing gak di terimo nang kene. ngerti ndok."(Kamu itu nak, ada yang menjaga, siapa ya? nenek-nenek. Nah, itu yang tidak diterima disini. Paham nak).
"Kulo, njogo? Ngapunten, kulo mboten paham" (Saya, menjaga. Mohon maaf, saya belum mengerti).
"Wes, ngene ae, mene bengi, mampir rene maneh yo, tak duduno sesuatu." (Sudah begini saja, besok malam, kamu kesini, saya tunjukkan sesuatu sama kamu).
Meski tidak mengerti maksud ucapan pak Prabu dan lelaki renta itu, Nur akhirnya kembali ke penginapanya. Dengan membawa nama lelaki renta itu, yang menyebut dirinya dengan nama "Mbah Buyut".

Melanggar aturan

Yang pertama Nur lihat saat ia menginjak penginapan adalah Widya. ia seperti sudah menunggunya, dan benar saja, Widya mengajukan pertanyaan aneh seperti darimana, kenapa tidak minta ditemani. 
Namun Nur tidak ingin menceritakanya. Ia takut bila Widya dan yang lain terlibat. Nur langsung pergi ke kamar, beristirahat, meski pikiranya masih menerawang jauh. Ia tidak tahu harus melakukan apa selain menyimpanya sendiri.
Listrik di desa ini menggunakan tenaga genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk proker esok hari.
Widya masih teringat kejadian sore tadi dengan Nur. Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal di semprot dan berujung pada pidato tengah malam. Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.

"Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar." (Tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa. Ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, tak jauh darisana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar).
Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu.
"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana!).
"Guguk aku," (Bukan aku) bela Ayu. "Iku ngunu Bima sing ngajak jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (Jadi yang mengajak awalnya si Bima, katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada).
"Lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!" (Lah terus kamu tetap kesana!)
"Cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (Anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang!)

Perdebatan mereka berhenti sampai disana. Namun perasaan itu, perasaan Widya semakin tidak enak. Sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau. Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar. disana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu.
Nur yang erharap mendapatkan ketenangan dalam tidurnya, Nur malah mendapat mimpi tak terlupakan. Mimpi seperti nyata, seperti sebuah pesan untuknya. Di mimpi itu, Nur melihat sebuah tempat, banyak pepohonan yang tumbuh. Salah satu yang tidak akan pernah Nur lupakan adalah pohon Jati Kroyo atau lebih dikenal dengan nama Jati Belanda yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Bukan hanya itu, ada rimbun tumbuh tanaman beluntas. Aroma dedaunan beluntas yang wangu, membuat Nur mengingat kembali saat ia masih tinggan di pesantren.
Namun, Nur sadar bahwa ia saat itu berdiri di tengah hutan belantara, sendirian, dengan kegelapan malam yang menyiutkan nyalinya. Nur mulai berjalan, menyusuri tanah lapang. Sejauh mata memandang, Nur hanya melihat pepohonan yang besar diselimuti kabut keputihan. Tepat ketika  Nur tengah berjalan, ia mendengar riuh sorai dari kejauhan. Dari suara itu, terdengar ramai orang. Entah ada apa, sehingga keramaian itu, membuat Nur penasaran, ia pun mendekati.
Semakin mendekati sumber suara, Nur merasa janggal. Apakah itu? Dari balik pepohonan atau semak belukar? Ada yang tengah mengawasinya. Nur hanya mengucap kalimat yang bisa menguatkan batinnya bahwa ia disini bukan berniat menganggu. "Mbah, ngapunten, cucu'ne numpang lewat, mboten gada niat nganggu. ngapunten nggih mbah" (Mbah, mohon maaf, cucu'mu hanya ingin lewat, tidak ada keinginan mengganggu, mohon maaf ya mbah).
Kalimat itu terus Nur ucapkan. Dan sampailah ia di keramaian itu. Banyak sekali orang, mulai dari yang tua, muda, dari anak-anak sampai remaja. Mereka semua berkumpul menjadi satu di depan sebuah sanggar besar. Ada alunan musik gamelan, yang mengalun merdu. Tepat, ditengah sanggar, ada sosok penari yang sangat cantik. Nur tidak pernah tahu, ada tempat seperti ini di desa ini.
Sebelumnya, ia memang tidak mengikuti pak Prabu saat mengajak semua rombongan temanya berkeliling kampung. Maka di mimpi itu, Nur hanya berpikir, di tempat inilah warga kampung mengadakan hajatan.
Nur masih belum menyadari, kenapa dan bagaimana ia bisa sampai disana. Yang ia tahu, ia tersesat sampai akhirnya berakhir ditempat itu.
Ketika Nur tengah asyik menikmati pertunjukkan itu, tiba-tiba terdengar sayup seseorang berteriak. Anehnya, hanya Nur yang merasa mendengarnya. Teriakanya pilu meminta tolong. Nur pun meninggalkan keramaian itu. Matanya awas, mencari sumber suara yang meminta tolong itu. Naas, ketika Nur tengah berjalan, ia terpelosok jatuh dari sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Mencoba bangkit, Nur melihat kakinya mati rasa.
Saat itulah, Nur melihat seekor ular tengah menatapnya. Ia mendesis, membuat Nur hanya bisa terpaku melihatnya. Sisiknya hijau zambrud, meski ukuranya tidak terlalu besar, ular itu cukup membuat Nur ketakutan. Dengan tenaga yang tersisa, Nur merangkak menjauhinya.
Masalahnya adalah, setelah itu muncul orang yang Nur kenal. Sosok yang berjalan mendekati Nur, Widya. Widya memeluk ular itu seperti peliharaanya, membiarkan ular itu melilit lenganya, seakan-akan ular itu adalah temannya. Melihat itu, Nur tidak tahu harus bicara apa. Karena setelah itu, Nur tersentak dari mimpinya setelah mendengar suara bising dari luar rumah.
Meski masih dalam keadaan shock, Nur segera berlari menuju suara bising itu, rupanya, di luar rumah, ramai orang tengah berkumpul. Nur melihat, Wahyu, Ayu, ibu pemilik rumah, dan Widya. Entah apa yang mereka lakukan, Nur belum mengerti sama sekali. Yang ia dengar hanya ucapan ibu pemilk rumah.

"Wes, wes, ayo ndok, mlebu ndok, wes bengi." (Sudah, sudah, ayo masuk, sudah malam).
Namun, ketika mata Nur dan Widya bertemu, ada tatapan kebingungan disana. Widya sebenarnya tidak ada di tempat itu. Yang Nur Lihat sebenarnya bukan Widya.

Widya sebenarnya sedang terlarut di pekatnya malam. Widya melihat Nur dan Ayu tertidur. Tiba-tiba saja, terdengar langkah kaki. Saat Widya melihat apa yang terjadi, tampak bayangan Nur melangkah keluar. Ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.
Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya. Di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar. Dengan perlahan, Widya melangkah kesana. Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam. Sangat sunyi, sangat sepi. Dilihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur. Widya pun terpaku melihat Nur.
Di depanya, Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki. Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional. Widya, termangu mematung melihat temannya seperti itu. Ragu, Widya mendekatinya. Tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini. "Nur" panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia malah berlenggak lenggok. Sorot mata Nur beberapa kali melirik Widya. Ngeri, tiba-tiba bulu kuduk terasa berdiri saat memandangnya.
Dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi. Widya semakin di buat takut, tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu. Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah. Tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar berhenti bersikap aneh. Dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan. Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua.
Widya menjerit sejadi-jadinya. Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya. Dia adalah Wahyu. Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut. "Bengi bengi lapo as* nari-nari gak jelas nang kene!!" (Malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian disini seorang diri).
Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang yang memandangnya, tak terkecuali Nur, yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
Wahyu menceritakan semua yang dia lihat kepada seluruh orang yang ada di sana. Awalnya, lanjut Wahyu, ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu. Kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang. Karena penasaran, Wahyu mendekat. Sampai Wahyu baru sadar bahwa yang menari itu adalah Widya.
Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar. Namun ada satu hal yang sengaja Wahyu tidak ceritakan. Nanti, ia berencana akan menjelaskan semuanya. Si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut. Si pemilik rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu.
Wahyu pun kembali ke posyandu tempat ia menginap. Sementara si ibu pemilik rumah, menggandeng Widya masuk ke rumah, hanya tinggal Ayu dan Nur yang ada di luar rumah.

"Onok opo toh Yu, kok rame men?" (Ada apa sih Ayu, kok berisik sekali?).
"Wahyu. jarene ndelok Widya nari nang kene. mboh lapo, aku yo kaget pas ndelok, gak onok Widya nang kamar." (Wahyu, bilang, melihat Widya sedang menari disini, entahlah kok bisa, aku juga kaget waktu melihat Widya tidak ada di dalam kamar).

Nur yang mendengar itu, hanya diam, sembari memikirkan mimpinya. Widya, hanya itu yang terbesit dalam pikiranya Nur. Ia tahu, ada yang janggal dari dirinya, Widya, dan tempat ini. Malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.
Keesokan hari, semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian. Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah. Namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.
Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali. Tampak dari raut muka pak Prabu, rupanya dia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari, padahal latar belakangnya saja, Widya mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya.
Pak Prabu pun meminta Widya, Ayu, dan Wahyu, menemaninya ke satu tempat, yang tak lain adalah rumah mbah Buyut. Terpisah dengan Nur, yang saat itu harus mengerjakan proker individualnya.


Nah di sini, saya menemukan ada missing link dari penulis. Karena di cerita itu dikatakan bahwa setelah kejadian malam itu, keesokan harinya Nur memenuhi janjinya bertemu mbah Buyut. Sedangkan di hari itu juga, pak Prabu membawa Ayu, Wahyu, dan Widya ke mbah Buyut. Seharusnya mereka bertemu di sana. Namun entah bagaimana ternyata mereka tidak bertemu dengan Nur. Saya asumsikan, hari itu Nur duluan ke mbah Buyut, barulah keesokan harinya pak Prabu dengan ketiga mahasiswa/wi tersebut. Oke lanjut ke cerita.


Nur lebih dulu bertemu dengan mbah Buyut dengan pak Prabu. Kali ini, Nur di ijinkan masuk ke dalam rumah mbah Buyut. Yang mbah Buyut pertama ucapkan adalah, "Ndok, mambengi ngimpi opo?" (Nak, semalam kamu mimpi apa?). Nur pun menceritakan semuanya, termasuk insiden saat ia melihat Widya yang di pergoki Wahyu tengah menari di malam buta. Mbah buyut hanya mengangguk, tidak berbicara apapun. Nur lalu berujar bahwa yang ingin dia ketahui adalah sosok hitam yang mengikutinya.
Malam itu juga, pak Prabu, mbah Buyut, dan Nur pergi ke sebuah batu, tempat pertama kali Nur melihat sosok hitam itu. Di sana, pak Prabu, menggorok seekor ayam, dimana darahnya di tap di sebuah wadah. Sebelum menyiramkanya di batu itu, Nur diwanti-wanti mbah Buyut.

"Ndok, awakmu percoyo, nek gok alas iki, onok deso maneh, sing jenenge Deso Brosoto" (Nak, kamu percaya, di hutan ini, ada desa lain yang namanya desa halus).
Nur mengangguk, ia percaya.
Mbah Buyut tersenyum, "Sing bakal mok delok iki, siji tekan atusan ewu wargane deso iku." (Yang akan kamu lihat sebentar lagi, itu satu dari ratusan ribu penghuni dari desa tersebut).
Nur terdiam mendengarnya dan benar saja, ia bisa meihat makhluk hitam itu tengah menjilati batu yang baru di guyur darah ayam kampung itu. Makhluk itu, hanya menjilati darah ayam, kemudian pak Prabu mengatakanya.
"Awakmu sadar utowo gak, asline, awakmu gowo barang alus sing di anggap tamu nang deso iki, coro alus'e ngunu yo ndok." (Kamu sadar atau tidak, sebenarnya, membawa tamu ke desa ini, cara gampangnya gitu)
"Tamu sing mok gowo, iku ngunu seneng ngejak geger ambeh warga deso iki." (Tamu yang kamu bawa itu, suka sekali membuat masalah di desa ini).
"Masalahe, sing mok gowo iku wes di kunci nang njero Sukmo'mu, nek di jopok, awakmu isok mati." (Masalahnya, barang itu sudah terikat di sukma kamu, bila di ambil, bisa mati).
"Aku wes ngerembukno karo mbah Buyut, nek barangmu gak usah di jopok, tapi, di culno, selama awakmu masih onok nang kene, barangmu kepisah ambek awakmu." (Aku sudah berunding sama mbah Buyut, bila apa yang ada dalam diri kamu tidak usah diambil, tapi dilepaskan saja. Selama kamu masih disini, dia tidak akan pergi jauh).
"Barang nopo to mbah?" (Barang seperti apa?)
Mbah Buyut mendekati Nur. Sebelumnya dia menarik ubun-ubun Nur, kemudian melemparkanya ke batu itu. Setelah itu, Nur, tidak bisa melihat makhluk hitam itu lagi.
"Wes mari ndok, sak iki, awakmu isok fokus garap tugasmu, gak bakal onok sing nganggu  maneh." (Sudah selesai nak, sekarang, kamu bisa fokus garap tugasmu, tak akan ada yang ganggu kamu lagi).

Siang itu, Nur dan Anton, tengah mengerjakan proker mereka bersama warga desa. Ia tanpa sengaja melihat Widya dan wahyu, serta pak Prabu dan Ayu tengah mengendarai motor. Mereka pergi meninggalkan desa, entah kemana.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari. Anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit. Lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika dijemput orang-orang desa.
Rumah yang pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang. Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan. Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa. Hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain. Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.
Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja. Tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir. Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang. Namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih.
Mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka. "Monggo" (silahkan) kata beliau dengan suara serak. Matanya memandang Widya. Melihat itu, Widya menolak. Mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi. Namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut meneguk kopi itu, meski hanya satu tegukan saja.
Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba, tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong. Tidak hanya Widya, semua orang ditegur agar mencicipi kopi buatan beliau. Katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semua akhirnya mencobanya. Berikutnya Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk. Mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa ditolerir masuk ke tenggorokan. Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.

"Begini," kata mbah Buyut. Beliau menggunakan bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya kadang tidak bisa di pahami semua anak. Ada kalimat, penari dan penunggu, namun yang lainya tidak dapat dicerna. Ia menunjuk Widya tepat di depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius. Pak Prabu mendengarkan dengan seksama. Kemudian mereka berpamitan pulang. Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.
Kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya. Selama perjalanan, pak Prabu bercerita tentang kopi. Kopi yang di hidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang di racik khusus untuk memanggil lelembut, dedemit dan sejenisnya. Bukan kopi untuk manusia. Mereka yang belum pernah mencobanya pasti akan memuntahkanya. Namun bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali. Semua anak jadi memandang Widya. 

Namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. "Sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i." (Mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti).
Selain mengatakan itu, pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan. Hanya di ikuti saja. Yang lebih penting, Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya. Untuk itu, pak Prabu punya gagasan mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah. Hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam. Pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja.

"Nur, kancamu iku loh kok aneh seh," (Nur, temanmu itu kok aneh sih) tiba-tiba, Anton mengatakan itu saat rombongan pak Prabu dan ketiga temannya menuju ke rumah mbah Buyut.
"Aneh? Sopo?" (Aneh? Siapa?).
"Sopo maneh, kancamu, Bima." (Siapa lagi, temanmu, si Bima).
"Aneh yo opo?" (Aneh bagaimana?)
"Aku gelek ndelok cah kui ngomong dewe, ngguya-ngguyu dewe nang kamar, trus, sepurane yo Nur, aku tau ndelok arek' Onani." (Aku sering melihat anak itu bicara sendiri, tersenyum-senyum di kamar, bahkan, aku pernah melihatnya, mohon maaf ya Nur, anak itu Onani dalam kamar)
Nur yang mendengar itu tidak bereaksi apapun, hanya berucap, "Halah, gak mungkin lah." Seakan apa yang dikatakan Anton hanya gurauan.
"Temen? Sumpah!" (Serius? Beneran!). "Ambek, ojok ngomong sopo-sopo yo, temen yo, tak kandani?" (Sama, tapi janji jangan bilang siapa-siapa ya). "Kancamu kui, gelek gowoh muleh sesajen, trus, di deleh nang nisor bayang'e." (Temanmu itu, sering membawa pulang sesajen, trus dia menaruh benda itu di bawah ranjang).
Nur masih mencoba menahan diri, ia masih tidak bereaksi mendengar Bima di tuduh seperti itu oleh Anton.
Namun, seketika emosi Nur tak terbendung saat Anton mengatakan, "Trus, nang ndukur Sesajen iku, onok fotone kancamu, Widya, opo, Bima kate melet Widya yo." (Terus, di atas sesajen itu, aku menemukan foto temanmu, Widya, apa Bima mau pelet si Widya ya).
"Awakmu gor di jogo yo lambene, ojok maen fitnah yo." (Kamu itu, tolong di jaga mulutnya, jangan main fitnah seperti ini).
"Nek awakmu gak percoyo, ayok tak jak nang kamare, ben awakmu ndelok, nek aku gak mbujuk." (Kamu kalau tak percaya ayo sini ikut, tak tunjukkan kalau aku tidak pernah berbohong).

Mendengar Anton menantang seperti itu, saat itu juga, Nur mengikuti Anton yang tengah berjalan menuju tempat mereka menginap. Seketika Nur tidak bisa berbicara apa-apa saat melihat itu di depan mata kepalanya sendiri. Seperti Nur ingin menghantam kepala Bima saat itu juga. Ia tidak pernah tahu, Bima segila ini. Teman sepondok pesantrennya jadi seperti ini.

"Aku wani ngajak awakmu awan ngene soale aku apa nek ngene iki, Bima nang kebon kaspe ambek Ayu, nggarap proker'e, gak masalah opo-opo, tapi, asline aku wedi yu, ben bengi, aku krungu suoro arek wedok nang kene." (Alasan kenapa aku berani mengajak kamu ke sini karena aku tahu, si Bima dan Ayu pasti sekarang garap prokernya di kebun ubi. Bukan masalah apa-apa sih, tapi sebenarnya aku takut, setiap malam, aku dengar suara perempuan disini).
Ucapan Anton yang terakhir, membuat Ayu tidak dapat bicara lagi. Saat ia, termenung sendiri, entah kenapa, insting Nur, mengatakan ada yang di sembunyikan oleh temannya.
"Sopo sing nang kamar ambek Bima?" (Siapa yang ada dikamar sama Bima?)
"Yo iku masalahne." (Itu masalahnya). "Ben tak enteni cah iku metu, gak onok sing metu takan kamare." (Setiap tak tungguin, tidak ada yang keluar dari kamarnya).

Nur, tiba-tiba mendekati almari. Ia merasa mendengar sesuatu disana. Tepat ketika, almari itu terbuka, Nur dan Anton tersentak kaget saat melihat, ada ular di dalamnya. Ular itu berwarna hijau, kemudian lenyap setelah berjalan melewati jendela posyandu. Anton dan Nur hanya saling menatap satu sama lain, tidak ada hal lagi yang harus mereka bicarakan.
Sementara pertemuan pak Prabu dan tiga orang lainnya bersama mbah Buyut, di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima. Kini tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung. Cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau. Sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang di temui anak seumuran mereka di desa ini. Rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.
Di belakang rumah, ada watu item (batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang dan di kelilingi daun tuntas. Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar. Namun itu perintah dari pak Prabu. Semenjak saat itu, Nur selalu mengawasi Bima. Nur jadi lebih tahu, Bima seringkali mengawasi Widya tanpa sepengetahuan siapapun.
Setelah kejadian minum kopi di rumah mbah Buyut bersama pak Prabu, Ayu sedikit menghindari Widya. Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah-mentah pesan orang tua itu. Disini, Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.

"Wid, kancamu cah lanang iku, gak popo tah?" (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah?)
"Maksud'e mas?"
"Cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi?" (Temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam?)
"Ra paham aku mas." (Tidak mengerti aku mas).
"Trus" kata Wahyu "Aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar." (Aku sering denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar).
"Ra mungkin tah mas." (Tak mungkinlah mas).
"Sumpah!! Gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan." (Tak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu).
"Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh." (Bima itu religius, tak mungkin aneh-aneh).
"Yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. gendeng cah iku." (Ya sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak).

Dan yang paling tidak bisa Nur lupakan adalah, saat ia bertanya perihal kenapa ia jarang melihat Bima sholat lagi. Bima selalu berdalih, kenapa ibadah harus diumumkan. Meski Bima selalu bisa membalik pertanyaan Nur, ia tahu, Bima berbohong.
Puncaknya, ketika itu, sore hari, Nur baru saja selesai sholat ashar di dalam kamar. Tiba-tiba, ia mendengar suara bising dari samping kamar. Nur pun beranjak, mencari sumber suara. Saat ia mencari, ia melihat Bima, sedang menabur sesuatu di tempat dimana Widya biasa duduk. Nur lah, yang selalu membersihkan bunga-bungaan itu. Kelakukan Bima semakin membuat Nur penasaran.
Masalah tidak hanya berhenti di Bima saja, melainkan sahabatnya Widya. Setelah salat maghrib, Nur pergi ke dapur untuk minum. Semua anak sudah berkumpul di rumah itu. Saat di dapur, ia melihat Widya menatapnya. Wajahnya kaget dan bingung melihat Nur. "Lapo Wid?" tanya Nur yang juga kaget dan bingung. Mata mereka saling bertemu, namun, hanya untuk saling mengamati satu sama lain. 
Kita tahan kejadian saling pandang tersebut, dan mundur beberapa menit sebelumnya. Kejadian itu di awali saat Widya di ruang tengah sendirian. Sedangkan Ayu, Wahyu, dan Anton ngobrol di teras rumah, Nur sholat. Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu. Widya pun mendengar suara kidung lagi. Suaranya dari arah pawon (dapur). Untuk mencapai pawon, Widya melewati kamar. Di sana Nur terlihat sedang bersujud. Suara kidung semakin lama semakin terdengar dengan jelas.
Pawon rumah ini hanya di tutup dengan tirai. Saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya. Widya mematung, diam, lama sekali, sampai Nur yang meneguk kendi melihatnya. Mata mereka saling memandang satu sama lain. "Lapo Wid" (kenapa Wid?) tanya Nur.
Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari menuju kamar dimana dia melihat Nur salat. Di sana, ternyata tidak ada Nur. "Onok opo toh asline?" (Ada apa toh sebenarnya?) tanya Nur yang sekarang di samping Widya. Dia memegang bahu Widya, dingin, tangan Widya masih gemetaran. Semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya. Sampai akhirnya pertanyaan Ayu, membuat Nur terhenyak dan menyadari anak-anak semua berkumpul disana.

"Rame ne, onok opo toh?" (Ramai sekali, ada apa sih?) tanya Ayu.
"Gak eroh, cah iki, di jak ngomong ket mau, meneng tok" (Tidak tahu, anak ini, diajak ngomong diam saja dari tadi).
"Lapo Wid?" (Kenapa Wid?) tanya Wahyu yang mendekati.
"Tanganmu kok sampe gemetaran ngene, onok opo seh asline?" (Tanganmu kok sampai gemetar begini, ada apa?) kata Anton tidak kalah penasaran.
"Nur jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae." (Nur ambilkan air minum gitu loh, kok malah diam saja).
Kaget mendengar teguran Anton, Nur lalu mengambil teko air, dan memberikanya pada Widya. Di sini hal mengerikan itu terjadi. Ketika Widya meneguk air dari teko yang sama dengan teko yang Nur minum tadi, tiba-tiba Widya berhenti meneguknya. Membiarkan air itu berhenti di dalam mulutnya.

Tangan kiri Widya masih memegang teko, sedangkan tangan kananya terangkat lalu masuk ke dalam mulut. Di sana, Widya berusaha mengambil sesuatu, ada beberapa helai rambut hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya. Semua yang menyaksikanya beringsut mundur. Kaget. Begitu penutup tekonya di buka, di dalamnya, ada segumpal rambut. Benar-benar segumpal rambut dengan air di dalamnya.
Nur yang melihatnya langsung bereaksi. "Aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu'ne." (Tadi aku juga minum dari situ, tak tahu ada yang begitu). Widya muntah sejadi-jadinya. Saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan, "Awakmu di incer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku biasane nek gak di santet yo di incer demit." (Kamu di incar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba-tiba muncul rambut, itu biasanya kalau tidak di santet ya di incar makhluk halus).
Ucapan Anton, membuat suasana semakin tidak kondusif. Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba Nur, teringat dengan sosok penari yang ia lihat. "Wid, opo penari iku jek ngetutno awakmu, soale ket wingi, aku gorong ndelok nang mburimu maneh." (Wid, apa penari itu masih mengikuti kamu, soalnya dari kemarin, aku belum melihatnya lagi). Ucapan spontan Nur, membuat semua orang mengerutkan dahi, sehingga Nur akhirnya diam. Setelah kejadian itu, Nur merasa bersalah, sehingga ia mencoba menjauhi Widya.

Berhari-hari setelah pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was. Ia jatuh sakit selama 3 hari, dan selama itu juga Widya hanya terbaring di atas tikar kamar. Nur tidak melanjutkan lagi ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakanya, seharusnya ia menahan cerita itu.
Selama terbaring sakit, Widya seringkali di tinggal sendirian didalam rumah itu. Dan selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya lupakan. Begitu juga dengan Nur.
Saat itu tidak ada satupun orang di rumah hanya Widya. Namun, siang itu, terdengar suara sesuatu yang di pukuli. Hal itu menimbulkan rasa penasaran, suaranya seperti benturan antara lempengan yang keras, awalnya Widya menghiraukanya. Namun, semakin lama, Widya tidak tahan dan akhirnya memeriksanya.

Suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur). Maka Widya pergi ke sana. Saat ia sampai di pintu pawon yang terbuat dari kayu, Widya berhenti. Di sela pintu, Widya mengintip alangkah bingungnya Widya, melihat di antara pohon pisang, ada seorang bapak-bapak, usianya sekitar 50'an, menggunakan pakaian hitam ala orang yang akan berkebun. Dia berdiri di antara pohon pisang, matanya tampak mengawasi rumah yang menjadi penginapan Widya selama KKN.
Lama sekali, bapak itu berdiri mengawasi penginapan Widya. Gerak-geriknya sangat mencurigakan, seperti ingin masuk ke rumah, namun bapak itu ragu-ragu. Ketakutan tiba-tiba terasa di dalam diri Widya. Kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu. Rasa lega bapak itu pergi, Widya berniat kembali ke kamar. Di sana ia melihat Anton, baru saja masuk rumah, mereka berpapasan, bodohnya, Widya tidak menceritakan hal itu kepada Anton dan anak lain.
Sedangkan Nur, apa yang dialaminya adalah tanpa sengaja, mencuri dengar suara seseorang yang tengah berteriak satu sama lain. Nur terdiam untuk mendengarkan. Rupanya, suara itu berasal dari Ayu dan Bima. Untuk apa mereka berkelahi? Ada satu kalimat yang paling di ingat oleh Nur, adalah, kalimat ketika Bima mengatakan.

"Nang ndi Kawaturih sing tak kek'no awakmu, aku kan ngongkon awakmu ngekekno nang Widya seh!!! kok arek'e gorong nerimo iku!!" (Dimana mahkota putih yang aku serahkan sama kamu? Aku kan sudah nyuruh kamu memberikanya kepada Widya!! Kok dia belum menerima benda itu!!"). Nur tidak memahami maksud mahkota putih itu. Namun Nur mengerti, ada sesuatu diantara mereka. Semenjak kejadian itu Nur merasa firasatnya semakin buruk.

Keesokan harinya, peristiwa yang sama itu, kembali terulang pada Widya. Di awali suara keras yang sama, Widya kembali mengintip. Kali ini, bapak itu lebih berani. Ia melihat kesana-kemari, mendekati penginapan dan beberapa kali berusaha mengintip. Fari gerak-geriknya, tampaknya bapak itu berniat buruk. Masalahnya adalah, apa yang ingin dia cari di sini?
Memikirkan hal itu, Widya tiba-tiba seperti baru ingat, ia hanya di rumah ini sendirian. Seorang wanita sendirian di dalam rumah dan seorang pria asing mendekati rumah itu, apalagi kalau bukan...
Sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, ada suara yang mengejutkanya. Suara keras itu rupanya dari Batu di belakang pawon. Keras sekali sampai membuat si bapak lari tunggang langgang. Widya menyaksikanya sendiri, ada yang melempar batu cukup besar, tepat di Watu Item (Batu kali) di belakang rumah sehingga si bapak panik dan pergi, Widya juga ikut pergi.
Widya melaporkanya pada pak Prabu, yang ikut kaget mendengarnya. Di carilah si bapak itu dan ketemu. Rupanya dia adalah warga desa. Ketika di tanya apa yang dia lakukan di rumah anak-anak KKN, bapak itu mengatakan sesuatu, yang entah benar atau tidak. Dia mengaku melihat wanita. Wanita yang di lihat si bapak ini, mengenakan pakaian seperti dayang (penari) dan ia masuk rumah ini. Namun karena takut disangka melakukan hal-hal tidak baik, dia memeriksanya diam-diam.
Tapi, di hari dimana ia lari tunggang langgang, dia mengaku melihat sesuatu di pawon rumah. Dia melihat wanita itu di dalam pawon rumah, sedang menari dengan anggun. Sesaat sebelum ia melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati. Karena di balik sirat wajah wanita yang disangka terlihat jelita itu, rupanya polos, rata tak ada bentuk. Apa yang di ucapkan si bapak memang tidak dapat dipercaya, namun pak Prabu tidak punya bukti lebih jauh. Maka pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, si bapak pun pergi.
Pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri.

"Onok sing nyoba ngabari sampeyan mbak." (Ada yang mencoba memberi pesan sama kamu mbak).
"Sinten pak?" (Siapa pak?).
"Mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item." (Kakek-kakek penjaga batu kali itu).
Setelah kejadian itu, Widya di minta ke rumah pak Prabu bila masih sakit.

Ternyata banyak warga yang mengeluhkan proker Ayu dan Bima. Proker mereka banyak ditentang warga, namun Nur belum paham alasan kenapa ditentang. Sampai Anton memberitahu, "Bima, kancamu kui, kate gawe rumah bibit, nang nduwor Tapak tilas, yo jelas di tentang, wong enggon iku keramat." (Temanmu si Bima, dia mau buat rumah bibit, di jalan Tapak Tilas, tentu saja banyak yang gak terima, itu tempat di keramatkan). Nur masih belum mengerti maksud Anton.

"Tapak tilas, nggon opo iku, kok sampe di larang, kan bagus proker'e gawe kemajuan desa iki," (Tapak tilas itu tempat apa, kok sampai di larang? Bukankah bagus proker mereka untuk kemajuan desa ini) ucap Nur.
"Yo aku gak eroh, wong, di larang kok" (Ya aku mana tau, pokoknya dilarang)
"Nang ndi seh, nggon iku, kok aku gak eroh, awakmu isok ngeterno aku gak?" (Dimana sih tempatnya, kok aku tidak tau, kamu bisa antarkan aku kesana) ucap Nur penasaran.
"Lha matamu, gendeng'a wong pak Prabu ae mewanti ojok sampe melbu kunu, iku ngunu langsung alas"(Lha, matamu, gila, pak Prabu sendiri melarang masuk kesana, itu tempat langsung ke hutan belantara).

Namun Nur masih penasaran, sehingga ia tetap bersikeras mau kesana. Dia pun bertanya pada Anton dengan alasan untuk menghindari tempat itu. Anton, setuju. Ia memberitahu ancer (letak) tempat itu berada, yang ternyata adalah lereng bukit dengan satu jalan setapak ke atas. Di sampingnya, memang adalah perkebunan ubi tempat Bima dan Ayu melaksanakan proker.
Namun, sore itu, dua anak itu tidak ada disana. Entah kemana. Setelah selesai memberitahu, Anton mengajak Nur pergi darisana. Namun Nur mengatakan, sore ini ada janji temu dengan pak Prabu, jadi jalan mereka akan berpisah disini. Meski awalnya Anton curiga, namun akhirnya ia percaya dan pergi.
Setelah Anton pergi, Nur menatap tempat itu. Ia menatap lama, gapura kecil, sama seperti yang lain, dan ada sesajen disana. Tidak hanya itu, gapura itu di ikat dengan kain merah dan hitam, yang menandakan bahwa tempat itu sangat dilarang. Namun, insting rasa penasaranya sudah tidak tertahankan lagi. Seperti memanggil.
Jalannya menanjak dengan sulur akar dan pohon besar disana-sini, butuh perjuangan untuk naik. Namun anehnya, jalan setapak ini seperti sengaja di buat untuk satu orang, sehingga jalurnya mudah untuk di telusuri. Menyerupai lorong panjang dengan pemandangan alam terbuka. Nur menyusuri tempat itu. Langit sudah berwarna oranye, menandakan hanya tinggal beberapa jam lagi, petang akan datang.
Meski tidak tahu apa yang Nur lakukan disini, namun perasaanya seolah terus menerus mendesaknya untuk melihat ujung jalan setapak ini kemana ia membawanya. Angin berhembus kencang dan tiap hembusanya, membawa Nur semakin jauh masuk ke dalam. Ia tidak akan bisa keluar dari jalan setapak karena rimbunya semak belukar dengan duri tajam yang bisa menyayat kulit dan kakinya.
Namun semakin curiga, semakin dia masuk. Sesuatu ada disana, tetapi ia harus kecewa ketika di ujung jalan, bukan jalan lain yang ia lihat. Namun semak belukar dengan pohon besar menghadang. Di bawahnya di tumbuhi tanaman beluntas yang rimbun, jalan ini, tidak dapat di lewati lagi. Lalu, kenapa tempat ini seolah di keramatkan?
Apa yang membuat tempat ini begitu keramat bila hanya sebuah jalan satu arah seperti ini? Langit sudah mulai petang. Nur bersiap akan kembali. Tapi langkahnya terhenti saat ia merasa ada hembusan angin dari semak beluntas di depanya. Ia pun menyisir semak itu. Sampai Nur melihat sebuah undakan batu yang di susun miring. Ia tidak tahu, rupanya ia berdiri di tepi lereng bukit. Meski awalnya ragu, Nur akhirnya melangkah turun. Menjajak kaki dari batu ke batu sembari berpegang kuat pada sulur akar di lereng. Ia sampai di bawah dengan selamat.
Seperti dugaanya, ada tempat tak terjamah di desa ini. Manakala Nur melihat dengan jelas, sanggar atau bangunan yang lebih terlihat seperti balai sebuah desa. Namun, kenapa tempat ini tidak terawat. Nur berkali-kali melihat langit, hari semakin gelap. Namun, ia justru mendekat.
Layaknya sebuah tanah lapang dengan bangunan atap yang bergaya balai desa khas atap jawa, Nur mengamati tempat itu setengah begidik. Selain kotor dan tak terurus, tidak ada apapun disini, kecuali sisi ujung dengan banyak gamelan tua tak tersentuh sama sekali. Butuh waktu lama untuk Nur mengamati tempat ini sampai ia mengambil kesimpulan. Tempat ini sengaja di tinggalkan begitu saja, kenapa?
Ia menyentuh alat musik kendang, mengusapnya, dan semakin yakin, tempat ini sudah sangat lama di tinggalkan. Setiap Nur menyentuh alat-alat itu, ia merasa seseorang seperti memainkanya. Ada sentuhan kidung di telinganya. Nur sendirian, namun, ia merasa, ia berdiri di tengah keramaian.

Kegelapan, sudah menyelimuti tempat itu, langit sudah membiru. Namun Nur merasa tugasnya belum selsai, sampai Nur tersentak oleh sebuah suara familiar yang memanggil namanya. Ketika Nur berbalik menatap, sesiapa yang baru saja memanggilnya, Nur mematung melihat Ayu. Berdiri dengan muka tercengang. Dari belakang, muncul Bima, tidak kalah tercengang. Suasana menjadi sangat canggung. "Yu, Bim? Kok nang kene?" (Yu, Bim, kok kalian ada disini?).
Ayu dan Bima hanya mematung, tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali. Hal itu, membuat Nur mendekati mereka, melewatinya, dan kemudian ia melihat ada sebuah gubuk di belakang bangunan ini. Nur berbalik, ia kecewa.

"Bim, abah karo umi nek eroh kelakukanmu yo opo yo, sebagai konco, aku gak nyongko loh Bim." (Bim, Abah sama Umi kalau tahu perbuatanmu gimana ya, sebagai temamu lama, aku tidak menyangka hal ini sama sekali). Bima hanya diam, Ayu, apalagi.
"Nur, tolong" ucap Ayu, menyentuh lengan Nur.
"Aku gak ngomong mbek koen yu, aku ngomong karo Bima." (Aku gak bicara sama kamu yu, aku mau bicara sama Bima).
Tatapan Nur membuat Ayu beringsut mundur. Bima masih diam, sebelum Nur akhirnya menampar tepat di pipinya Bima.
"Wes ping piro?" (sudah berapa kali?) tanya Nur.
"Pindo'ne." (Kedua kalinya).
Nur tidak tahu harus berucap apa, "Sek ta lah, opo sing jare Anton nek krungu suara cah wadon gok kamarmu iku koen ambek Ayu!!" (Tunggu, ini artinya, apa yang dikatakan Anton soal dia dengar suara--perempuan di kamarmu itu kamu sama Ayu!!).
Namun, Bima menatap wajah Nur dengan kaget, tidak hanya itu, Ayu juga terperangah tidak percaya, kemudian menatap Bima dengan sengit, seakan Nur salah bicara.
"Maksude Nur?" (Maksudnya Nur?!) tanya Ayu kaget. "Bim, ojok ngomong awakmu!!" (Bim jangan bilang kamu!!).
"Wes wes, ayo mbalik, engkok tak ceritakno kabeh, tulung, ojok ngomong sopo sopo dilek yo Nur." (Sudah, ayo kembali dulu, nanti tak ceritakan semua, tolong jangan ngomong ke sesiapa dulu ya Nur).

Nur, Ayu, dan Bima pergi. Wajah Bima tegang, seakan ia dikejar sesuatu, hingga akhirnya ia keluar dari tempat itu. Langit sudah gelap gulita, dan Nur, merasa ada yang mengikuti mereka semua.
Setelah sampai di rumah, Nur meminta Bima dan Ayu berkumpul di belakang rumah. Sementara Anton menyesap rokok di teras. Sedangkan Wahyu dan Widya, belum juga pulang. 

Kemana Wahyu dan Widya?

Siang hari itu, Widya sedang mengerjakan prokernya yang sudah tertunda beberapa hari, Wahyu mendekati Widya. Ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa sementara karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus di beli di kota.

"Melu mboten?" (Ikut tidak?)
"Adoh gak?" (Jauhkah?)
"Dua jam" kata Wahyu. "Aku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor'e" (Aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjam motornya).
"Nggih pon, melu" (Ya sudah, ikut).

Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat. Ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota karena sesaat sebelum meminta ijin, pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang. Saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang di telusuri untuk masuk ke hutan ini, dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan, "Gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero'ne Alas le." (Tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal didalam hutan nak).
Mereka berangkat, menembus jalan setapak. Lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh, sampai akhirnya mereka tiba di kota B. Di sana mereka berhenti di sebuah pasar. Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka. Kurang lebih setelah 2 jam, mencari kesana kemari dan setelah mendapatkanya, mereka langsung cepat kembali.
Wahyu berhenti di pom bensin. Ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain. Jam sudah menunjukkan pukul 4. Sudah terlalu sore. Sejenak ia melihat Widya dari jauh. Wahyu pun menghampiri penjual cilok. Ketika Wahyu sampai disana, ia membeli beberapa cilok. Untuk Widya dan dirinya sendiri, saat itulah, si penjual cilok, melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Mas nya pendatang?" kata orang asing itu.
"Mboten pak. Kulo KKN ten mriki" (Tidak pak, saya hanya KKN disini).
"Tetep ae, wong joboh to?" (Tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"Nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?"
Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual.
"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D*********??" (Berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan D**********??)
"Nggih pak" (Iya pak)
"loh loh, halah dalah. Wes yangmene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yangmene, jarang onok sing liwat," (Sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat) kata si bapak.
"Mboten pak, kulo bablas mawon," (Tidak pak, saya lanjut saja) kata Wahyu.
"Ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan??" (Begini mas, bisa saya minta waktunya sebentar?) si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.
"Nggih pak" kata Wahyu.
Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas D**********.
"Ngeten mas" (begini mas) "engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros" (Nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutanya, jalan saja ya terus).
"Ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas." (Tak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas). "Ojok lali, moco dungo'e sing katah." (Jangan lupa doanya yang banyak).
"Sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe di gawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah di urus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih."
(Yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja. jika sampai kalian dibikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti disana, yang penting tidak usah di perdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan).
Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.
"Kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Tujuan." (Saya doakan kalian selamat sampai tujuan).

Tepat ketika langit sudah kemerahan, mereka melanjutkan perjalanan. Di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin melewatinya begitu saja. Tidak pernah di sangka, jalan masuk hutan lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang. Vahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakan. Hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan.
Karena benar saja, tak di temui satupun pengendara lain disini. Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini.
Sementara belum di temui satupun pengendara yang lewat. Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian wahyu terjadi pada mereka. Dan benar saja, motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.
Widya, diam seribu bahasa. hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk, yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala doa bisa saja di kabulkan sewaktu.

"Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu." (Jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu) kata Wahyu. Berapa kali kata "Goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini. Sembari mencoba menstarter motor, entah berapa lama mereka berjalan dan masih belum di temui satupun pengendara yang di mintai pertolongan, Wahyu masih melihat Widya.
Berjalan sendirian didepan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu, seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal yang pernah Wahyu buat. Sampai, langkah kakinya berhenti. Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. Pasti.

“Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau." (Kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku dari tadi sudah capek dorong motor dari tadi). Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
"Yu, krungu ora?? suara mantenan??" (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??). Bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.
"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae." (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja).

Seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, di iringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan.
Sampai, di lihatnya, terdapat janur kuning melengkung, disana, Widya melihatnya. Sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya. Seperti sebuah area perkampungan, disana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik didendangkan.

Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.

"Nopo le" (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus. "Sepeda'e mblodok?" (Motornya mogok?). Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah. Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda, menepi dari jalan raya. Tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya dibetulkan.

Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri. Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang di tabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk. "Aku ra eroh nek onok kampung nang kene?" (Aku tidak tau ada kampung disini?).
Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung. Di depan penabuh gamelan masih ada ruang, acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu? Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab.
Dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati, aroma yang familiar bagi Widya. Di ikuti serombongan orang, dihadapanya ada seorang penari. Ia di tuntun naik ke atas panggung, kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung, semua mata, seperti terhipnotis melihatnya. "Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj*ng!!) kata Wahyu.
Bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu. Tapi, tidak ada yang tahu siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka.
Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapanya sembari bercakap-cakap sama si bapak tua. Namun Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis. Setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa di naikin lagi. Benar saja, motor mereka sudah bisa di pakai lagi. Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan.
Si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati. Tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya, itu adalah jajanan yang di hidangkan tadi. Membungkusnya dengan koran, Widya menerimanya, mengucap terimakasih lagi, lalu lanjut pergi.
Tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari. Kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun cara dia berdandan, bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikanya terlihat begitu sulit di gambarkan. Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. Demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak di temui satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.
Namun motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun. Jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor? Satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, Desa KKN mereka sudah semakin dekat.

Foto : Detik.com

Di waktu Widya dan Wahyu mengalami hal mistis, Nur, Bima, dan Ayu menyelesaikan urusan mereka yang tadi petang terjadi.

"Sak iki ceritakno kok iso'ne kanca KKN dewe loh di garap ngene," (sekarang ceritakan, saya mau dengar, kok bisa ya, teman KKN disikat seperti ini) kata Nur. Ayu masih diam, ia memikirkan ucapan Nur yang tadi, Bima mulai berbicara, "Khilaf aku Nur" kata Bima, seakan apa yang di ucapkan dari mulutnya terdengar sepele.
"Gak isok nek ngunu, bakal tak gawe rame masalah iki ambek keluargamu, lanang iku kudu wani tanggung jawab ambek perbuatane." (Tidak bisa seperti itu, akan ku buat ramai nanti sama keluargamu, laki-laki harus berani bertanggung jawab atas perbuatanya). Ayu yang sedari tadi diam, kemudian bicara.
"Nur, tolong, ojok di gawe rame disek, yo opo engkok reaksine warga, pak prabu, utowo arek-arek" (Nur, tolong, jangan di buat ramai dulu, gimana coba reaksi semua orang) ucap Ayu. "Aku bakal tanggung jawab Nur, muleh tekan kene, Ayu bakal tak rabi Nur." (Aku akan tanggung jawab, Ayu akan saya nikahi habis pulang dari sini).
"Goblok ya wong loro iki, dipikir masalah iki mek masalah mu tok tah, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir liane, gak mikir jeneng kampusmu, gak mikir keluargamu, gak mikir agamamu, nek ngomong mu mek ngunu, penak yo, kari rabi tok, gak iling opo iku karma yo." (Goblok ya kalian, di kira ini masalah sepele, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir yang lain, gak mikir nama kampusmu, gak mikir-keluargamu, kalau memang cuma masalah pernikahan ya enak ya, tapi kalian lupa dengan yang namanya karma tabur tuai).
Ayu yang mendengar itu perlahan sesenggukan, Nur tahu, ia menangis, namun Bima, ia seperti menyembunyikan sesuatu. Ada yang belum ia jelaskan sama sekali. Anton tiba-tiba muncul sembari mengatakan,  "Cah loro iku wes teko, mboh tekan ndi, mosok moleh sampe bengi ngene." (Itu loh, dua temanmu sudah datang, entah darimana, masa pulang sampai larut begini).

Sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor sedangkan Widya sudah di tunggu oleh semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah. Widya dan Wahyu tidak tahu masalah Bima dan Ayu, karena Nur merasa hal ini memang tidak seharusnya di ketahui semua orang.

"Tekan ndi seh?? kok suwe'ne" (darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu.
"Tekan Kota, belonjo keperluan kene." (Dari kota belanja keperluan kita).
Nur membuang muka melihat Widya, sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu. Setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu. Sekarang, dia sedikit menjauhi Widya dan ia merasakan itu, sangat terasa. Di suasana tegang itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana. "Wes ta lah, kok kaku ngene seh."(Sudahlah, kok canggung gini). Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah, "Awakmu pegel kan?" (Kamu pasti capek kan?).

Tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah. Tanpa membuang-buang waktu, alih-alih ia istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung. Tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui, kecantikanya, ia ceritakan semua. Bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingungan lah yang pertama Wahyu lihat.

"Deso tetangga opo? gak onok maneh deso nang kene?" (Desa tetangga apa, tidak ada lagi desa disini) kata Bima mengingatkan.
"Halah, ngapusi, eroh teko ndi awakmu?!" (Halah, bohong kamu, tahu darimana?) sanggah Wahyu saat itu.
"Aku wes sering nang kota, mbantu warga deso dodolan hasil alam, dadi gor titik aku paham  wilayah iki." (Aku sudah sering ke kota, bantu warga jual bahan alam disini, jadi ya tau sedikitnya daerah ini)
"Ngapusi koen halah tot." (Bohong kamu dasar, sial).
Nur yang sedari tadi mendengar, membantu Bima, "Bener mas wahyu, gak onok deso maneh nang kene." (Benar mas Wahyu, tak ada lagi desa disini).
Wahyu semakin tidak terima, ia kemudian memanggil Widya, "Wid duduhno opo sing di kek'i--ambek warga sing nang tasmu." (Wid tunjukan oleh-oleh yang di kasih tadi sama warga di dalam tasmu).

Widya enggan membuka isi tasnya. Karena tidak sabar, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu. Bukan koran lagi yang Wahyu temui, namun daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu. Tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu, semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis.
Ekspresi mereka berubah manakala Wahyu mengeluarkan barang itu. Widya yang melihat benda itu sama kagetnya dengan Wahyu. Namun Nur dan semua orang saat itu tampak bingung. Benda seperti apa yang dibungkus dengan pelepah daun pisang seperti itu. Nur sempat melihat Wahyu dan Widya bertukar pandang, ia tahu ada yg salah. Saat Wahyu membukanya, serempak semua kaget. Yang ada di dalamnya rupanya adalah kepala monyet terpenggal dengan darah yang masih segar.
Seketika, reaksi semua orang membalikkan wajahnya, termasuk Nur yang segera mengambil kain untuk menutupinya, baunya amis dan membuat seisi ruangan mual. Wahyu tampak shock, Widya apalagi.
Ayu segera membopongnya masuk ke dalam kamar. Sementara Bima dan Anton, segera membereskan semua itu. Wahyu, ia muntah sejadi-jadinya. Semalaman, semua orang termenung dengan berbagai kejadian ganjil, termasuk Nur.

Benda keramat

Widya dan Ayu melepas penat. Nur terbangun, ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Bima dan Ayu yang tanpa sengaja ia curi dengar. Dengan cekatan dan mengambil risiko, Nur mengambil isi tas Ayu.
Membawanya menuju ke pawon (dapur) sendirian. Ia merasa, benda itu di dalam tas. Nur membongkar, mengeluarkan isi tasnya. Nur sadar, masih ada resleting tas yang belum ia buka. Tepat ketika Nur membukanya, ia bisa mencium aroma wewangian di dalamnya. Rupanya sebuah selendang hijau milik penari.
Tiba-tiba, tangan Nur seperti gemetar hebat, nafasnya menjadi sangat berat, tempat ia berada seakan-akan menjadi sangat dingin dan tabuhan kendang di ikuti alunan gamelan terdengar berkumandang.  Nur tahu, si penari ada disini. Apa yang Ayu sebenarnya lakukan? Apa yang Bima sembunyikan?
Tepat saat itu juga, Nur melihat dengan mata kepala sendiri, Widya melangkah masuk ke pawon (dapur) matanya tajam menatap Nur. Kaget setengah mati, Nur bertanya pada Widya, "Nyapo Wid awakmu nang kene?" (Ngapain kamu wid, ada disini?). Namun Widya hanya berujar, "Ojok di terusno!" (Jangan diteruskan!). Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesanya, khas Jawa sekali yang sampai Nur tidak begitu mengerti.
Yang Nur tangkap hanya kalimat "salah", "nyawa", "tumbal". Itu pun tidak jelas. Selain itu, setiap dia melihat Nur, ia seperti memberikan ekspresi sungkan, sepeti anak muda yang memberi hormat kepada orang tua.
Kalimat terakhir yang Widya ucapkan sebelum kembali ke kamarnya adalah, "Kamu bisa pulang dengan selamat, saya yang jamin" tapi dengan logat jawa. Nur membereskan semuanya saat itu juga, ia mengembalikan tas Ayu pada tempatnya. Sempat ia melihat Widya yang kembali tidur. Ia mengurungkan niat untuk membangunkanya, esok, ia harus bertemu dengan Bima.
Setelah kejadian kepala monyet itu, Wahyu mengurung diri dalam kamar 3 hari lamanya. Kadang ia masih tidak percaya dengan hal itu. Bamun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala monyet itu jatuh dari tanganya, rasa mualnya akan kembali, membuat wahyu harus memuntahkan isi perutnya.
Widya hanya mengulang kalimat mbah Buyut, "Jangan menolak pemberian tuan rumah." Sejatinya, Wahyu dan Widya sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil. Namun mereka harus tetap mencicipinya. Hanya Widya yang sadar, bahwa yang menemani mereka bukanlah manusia. Seandainya saja, Widya mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu dan menolak pertolongan mereka, menolak pemberian mereka, mungkin jalan cerita semua ini akan benar-benar berbeda. Bisa saja, justru, penolakan seperti itu akan mendatangkan balak (bencana) bagi mereka.
Apapun itu, Widya sudah mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung, tentang dirinya dan sang Penari. Nur yang paling sadar, tempat ini sudah menolak mereka semua. Sejak insiden itu, Ayu menghindari Nur, apalagi Bima. Meski begitu, tidak ada sadar bahwa mereka sedang memiliki urusan. Widya, wahyu dan Anton pun, di buat tidak sadar, bahwa ada permasalah internal pada kelompok KKN mereka.
Nur, bingung, tidak ada yang bisa untuk di ajak berbagi kecuali mbah Buyut. Namun, ia tidak tahu dimana beliau tinggal, pun Nur sudah mencoba mengelilingi desa, tak di temui sosok lelaki tua itu.
Sehingga akhirnya, Nur berinisiatif menyelesaikan ini sendiri. Ia menemui Bima, sore itu, mengajaknya ke tepi sungai.

"Ceritakno sing gak isok mok ceritakne nang ngarep'e Ayu." (Ceritakan yang gak bisa kamu ceritakan didepan Ayu).
Bima tampak menimbang apakah dia harus bicara atau tidak sampai akhirnya ia menyerah dan mengatakanya. "Aku khilaf Nur," kata Bima.
"Cah iki, pancet ae." (Benar-benar ya anak ini).
"Gak, gak iku. aku pancen khilaf wes ngunu ambek ayu, tapi aku luweh khilaf, wes nyobak-nyobak melet Widya." (Bukan, bukan itu, aku memang khilaf sudah melakukan itu sama Ayu, tapi aku lebih khilaf sudah mencoba membuat Widya suka sama aku).
"Maksude?" tanya Nur penasaran. "Nang nggon sing mok parani, iku onok sing jogo, arek wedok ayu, jeneng'e dawuh." (Di tempat yang kamu datangi ada penjaganya, seorang perempuan cantik, namanya dawuh). "Jin?" tanya Nur lagi.
"Gak. menungso." (Tidak. Manusia).
"Mosok onok, iku ngunu jin," (Mana ada itu jin).

Terjadi perdebatan sengit antara Nur dengan Bima. Dengan bersikeras Bima mengatakan, yang ia temui seorang perempuan warga desa ini. Namun, Nur membantah, tidak ada yang tinggal disana, lagipula tempat itu di larang sejak awal. Namun, Bima terus menolak sampai tanpa sengaja menampar Nur hingga terseok di tepi sungai. Nur pun menghujani Bima dengan batu, seakan-akan kepala Bima sudah tidak beres.

Sampai akhirnya Bima mengatakan, "Arek iku, wes ngekek'i aku, Kawaturih kanggo Widya, jarene iku jimat ben aku ambek arek'e di persatuno." (Perempuan itu, sudah memberiku semacam mahkota putih yang ada di lengannya, yang katanya, itu bisa membuat Widya selalu dekat denganku).
Nur yang mendengar itu, semakin tersulut, "Goblok yo koen, gorong 4 tahun, wes rusak utekmu, syirik koen Bim." (Bodoh ternyata kamu ya, belum 4 tahun sudah rusak isi kepalamu, yang kamu lakukan itu menyekutukan Bim). "Nang ndi barang iku sak iki?" (Dimana sekarang barang itu?) tanya Nur.
"Di gowo Ayu, nek jarene, wes ilang." (Dibawa oleh Ayu, katanya, sudah hilang).
"Aku gak ngurus Bim, balekno barang gak bener iku, awakmu gak paham ambek kelakuanmu, iku ngunu isok gowo balak." (Aku tidak perduli, gimana caranya, kembalikan barang itu, kamu tidak mengerti, perbuatanmu, bisa mendatangkan malapetaka). Nur pun pergi.
Sekarang, ia tahu harus kemana; menemui Ayu. Nur barusaja bertemu dengan Ayu setelah keluar dari rumah pak Prabu. Nur tidak mengerti apa yang baru saja dia lakukan.
"Lapo koen?" (Ngapain kamu). Ayu mencoba menahan malu. Setiap kali melihat Nur, mata Ayu seperti meratap atas apa yang sudah ia perbuat, dan itu fatal.
"Gak popo Nur, tak cepetno, ben proker'e arek -arek cepet mari, mari iku ayo balik, pokok'e fokus KKN kabeh yo." (Tidak ada apa-apa Nur, aku percepat urusanya, biar anak-anak semuanya bisa fokus garap proker mereka, kita juga harus kembali, intinya fokus dulu sama KKN ya).
"Aku pengen ngomong Yu, soal.." kata Nur yang terhenti melihat Anton mendekat. Nafasnya terengah-engah,  "Nur, warga sing mbantu, kerasukan kabeh, rusak proker kene iki." (Nur, warga yang bantu proker kita kerasukan, rusak semua proker kita).

Ayu, Nur, dan Anton pergi ke lokasi. Waktu itu ramai. Dan ketika Nur tiba, seorang pria yang di pegangi oleh warga, tampak melotot melihat Nur, ia menunjuk Nur seakan biang masalah di desa ini. Dia menyentak dengan suara berat, "Tamu di ajeni tambah ngelamak koen, mrene koen!!" (Tamu sudah dihormati tambah seenaknya, kesini kamu kesini!!).
Nur kaget, ia di lindungi warga lain. Tidak hanya pria itu, ada satu lagi, yang juga di tahan. Sayangnya, pria yang satu lagi, melotot pada pria pertama, seakan ia marah pada pria pertama. "Aku wes janji-jogo cah iki, awakmu ra oleh gawe perkara ambek arek iki." (Saya sudah berjanji sama seseorang untuk jaga anak ini, kamu tidak boleh membuat masalah sama dia).
Warga yang resah akhirnya membawa Nur ke rumah mereka, berikut Ayu dan Anton. Di ikuti yang lain, kecuali Widya. Saat Wahyu di konfirmasi, dimana Widya, Wahyu mengatakan Widya sama warga lain melanjutkan prokernya.
Namun, ketika langit mulai petang, Nur hilang dari kamarnya. Warga yang tersadar Nur tidak di tempat, panik. Ditemukanlah akhirnya Nur dalam keadaan pingsan. Nur terbangun dalam keadaan menggunakan mukena salat dan ada Widya di sampingnya. Wajah Widya tampak tegang, Widya tidak bisa menyembunyikan bahwa ia baru saja mengalami kejadian janggal.
Kejadian sebenarnya adalah Widya, yang baru selesai melihat prokernya -yang di bantu beberapa warga desa, kembali ketika langit sudah gelap gulita. Widya menyusuri jalan setapak desa. Seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar. Ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat mereka menginap. Seharusnya yang lain sudah ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak beristirahat. Namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan rumah, mati. Membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan, seolah rumah itu memanggil namanya.
"Wes biasa," Widya berkata dalam batinnya, untuk memantapkan hatinya. Rumah ini memang masih terbilang baru bagi Widya dan yang lainya. Namun tempo hari, dia mendengar bahwa ada penunggu di belakang rumah. Hal itu membuat Widya kadang tidak tenang dan beberapa kejadian ganjil hampir pernah Widya alami. Hanya saja apa yang Widya alami, apakah juga mereka alami? Mereka pun menutupi dan lebih memilih diam.
Kini, Widya sudah ada di depan pintu. Dia mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk. Dilihatnya ruang tengah, kosong, tak ada siapa-siapa. Teras rumah pun sama. Malam itu, tak ditemui satupun penghuni rumah ini. Apakah Widya terlalu sore untuk pulang, sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing bersama warga? Entahlah.
Widya bersiap masuk ke kamar, saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul. Perasaan seolah ada yang mengawasi entah dari mana dan menimbulkan rasa berdebar di dada. Ketika itu ada suara tawa ringkik terdengar dari Pawon (dapur) rumah. Saat itulah, Widya yakin, sesuatu ada disana. Sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya.
Ketika Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, duduk di sebuah kursi kayu. Matanya menatap lurus tempat Widya berdiri, ia masih mengenakan mukenah putihnya. Seolah-olah ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan mukenanya. Hanya saja, kenapa ia duduk diam seperti itu. "Nur, ngapain?" kata Widya.

Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong. Saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. Widya panik dan mendekatinya. Nidya menggoyang badanya, namun Nur tidak bergeming. Saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya. Tatapanya, seperti orang yang sangat marah.

"Cah ayu." (Anak cantik) hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur. Hanya saja, suaranya bukan suara Nur. Suaranya menyerupai wanita uzur. Melengking, membuat bulu roma Widya seketika berdiri.
Namun, saat Widya mencoba pergi, tanganya sudah di cengkram sangat kuat. "Kerasan nak nang kene?" (Betah tinggal disini?). Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.
"Yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi" (Gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu disini). Widya mulai menangis.
"Lo lo lo, cah ayu ra oleh nangis, gak apik." (Anak cantik tak boleh menangis). Mata Nur masih melotot, pergelangan tangan Widya di cengkram dengan kuku jari Nur.
"Cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi." (Anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia).
"Nur!" ucap Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.
"Iling Nur iling!" (Sadar Nur sadar!).
Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam takut.
"Awakmu gak ngerti, sopo aku." (Kamu tak tahu siapa aku?)
"Mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu 'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. Ngerti!"
(Kamu pikir, kalau tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang sudah membawa penunggu disini bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini sudah menjaganya, tidak akan ku biarkan mereka mendekati cucuku. Mengerti!)
"Nyilokoi nopo to mbah?" (Mencelakai bagaimana?)
"Cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki."
(Anak cantik, satu dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum sadar, semuanya akan terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka jika di biarkan semuanya akan kena batunya di desa ini).
Setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap

Nur tidak sadarkan diri hingga terdengar suara, "Ket kapan isok ndelok Nur?" (Sejak kapan kamu bisa lihat begituan?). Nur yang mendengar itu kaget, sejak kapan Widya tahu dan bertanya soal itu. mereka terjebak dalam suasana canggung. Nur jadi berpikir, bahwa kunci semuanya, mungkin ada pada Widya. Sejak awal, Widya juga yang paling aneh di tempat ini.
"Aku gak isok ngomong Wid, penjelasane ruwet, tapi, aku wes keroso ngene iki ket mondok," kata Nur, "Gaib iku nyata Wid". (Aku tak bisa jelaskan secara spesifik, tapi, aku sudah merasa begini
sejak mondok, yang jelas, gaib itu nyata Wid).
"Awakmu onok sing jogo ya?" (Kamu ada yang jaga ya?) tanya Widya, yang membuat Nur semakin kaget, bingung harus menjelaskanya. 

Ia harus mengingat bahwa sebelum keluar dari pesantren, banyak temanya yang bilang, setiap malam, Nur terbangun dan melafaldzkan doa yang bahkan sangat susah di hafal oleh santri pondok saat itu.
Teman-temanya sampai memanggil guru mereka, agar Nur di ruqiah. Namun guru Nur menolak, beralasan bahwa selama tidak menganggu keimanan Nur, di biarkan saja daripada menjadi boomerang untuk Nur.
Bahkan guru Nur sudah berulang kali menjelaskan bahwa ia harus tetap mengimankan kepercayaanya. Tidak perlu memperdulikan jin model apa yang mengikutinya selama ini. Si guru memanggil jin itu dengan nama "Mbah dok" karena berwujud wanita tua.
Tanpa Nur sadari, itu adalah kali pertama ia bisa bicara lagi sama Widya setelah lama, ia seolah saling menjauhi satu sama lain. Nur menceritakan semuanya, pengalaman di pondok hingga ia keluar darisana, kecuali, insiden ganjil di tempat ini, Nur masih menyimpanya sendiri karena Nur percaya, Widya punya apa yang ia cari selama ini. Meski itu hanya asumsi, namun, ia yakin, Widya memilikinya.
Hingga, kesempatan itu muncul, Nur, melihat kamar, tanpa ada satu orangpun. Ayu dan Widya mengerjakan proker mereka. Nur membuka almari, mengeluarkan isi tas Widya. Ia membongkar semuanya, mencari hingga ke celah terkecil di tas yang Widya bawa. Semua persedian yang ia bawa tak luput dari pencarianya, sampai Nur akhirnya menemukanya.
Sebuah logam melingkar, dengan bentuk ukiran dari kemuning, bentuknya indah layaknya sebuah perhiasan. Tidak hanya itu, di tengahnya ada batu mulia berwarna hijau. Dengan wajah bingung, Nur bergumam sendiran "Kawaturih" itu, bagaimana bisa ada pada Widya.
Melihat itu, Nur sudah hilang kesabaran, ia membongkar isi tas Ayu, mengambil selendang hijaunya. Dua benda itu, Nur simpan pada sebuah kotak kayu yang ia temukan di pawon (dapur) tempat biasa untuk menyimpan bumbu masakan, tidak hanya itu, Nur menutupinya dengan kain putih, yang-di dalamnya, ada kitab agamanya. Nur menyembunyikan tepat di bawah meja kamar, tertutup taplak meja. Lalu Nur pergi mencari Ayu.
Setelah menemukan Ayu di tempat proker, Nur menarik Ayu, membawanya menjauh. Nur menampar wajahn Ayu hingga dia tidak bisa bicara apa-apa. 

"Gak waras koen yo, barang ngunu mok deleh nang tas'e Widya!! cah edan, kate makakno Widya koen yo, gak cukup ambek masalahmu opo!!" (Tidak waras kamu ya, barang seperti itu, sengaja di tarus di tas Widya!! orang gila, mau kamu umpankan Widya ya, apa gak cukup sama masalahmu!!).
"Jelasno kok isok-isokne awakmu tego, yo opo penjelasanmu isok nduwe barang-barang gak bener iku?!" (Jelaskan kok bisa kamu tega ya, gimana penjelasanmu kok bisa punya barang seperti itu)
"Barang opo to Nur?!" (Barang apa sih Nur?) tanya Ayu.
"Selendang hijau iku." Ayu yang mendengar itu tampak kaget.
"Kok isok awakmu eroh Nur, awakmu kelewatan mbongkar barang pribadine wong liya yo" (Kok bisa kamu tahu, kamu itu kelewatan kok bisa bongkar barang milik orang lain).
"Sak iki, melu aku nang pak Prabu, ayok." (Sekarang, ikut aku ke pak Prabu). Nur menarik Ayu, menyeretnya kuat-kuat, namun Ayu menolak.
Ayu pun mengatakan, "Aku di kongkon ndeleh iku, gawe gantine selendang iku. Selendang sing nggarai Bima gelem mbek aku." (Aku disuruh naruh benda itu, sebagai pengganti selendang itu, selendang yang bikin Bima mau sama aku).
"Sopo sing ngekek'i iku?" (Siapa yang ngasih itu?) tanya Nur, namun Ayu menolak mengatakanya.
"Sopo kok!!" (Siapa kok!!)

Ayu tetap menolak, bahkan sampai Nur mengatakan apakah perempuan yang juga Bima temui yang menyuruhnya. Ekspresi Ayu tampak kaget mendengarnya. Ayu mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu siapa perempuan itu dan siapa yang memberinya juga tidak ada hubunganya sama perempuan itu. Bahkan sekalipun, Ayu tidak pernah bertemu perempuan yang di katakan Bima sangat cantik itu. Nur menyerah, namun firasat buruknya semakin terasa ada hal ganjil disini. Yang Nur sadari di kemudian hari, yang memberi Ayu selendang itu, orang atau makhluk?


Sampai akhir cerita ini, SimpleMan mengatakan belum terpecahkan. Bahkan dari saat SimpleMan bicara dengan Nur, Nur hanya berasumsi, namun tidak berani mengatakan.


Sudah 23 hari di lalui. Setiap hari, perasaan Widya semakin tidak enak, di mulai dari satu persatu warga yang membantu prokernya mulai tidak datang satu persatu. Kabarnya mereka jatuh sakit.
Anehnya, itu terjadi di proker kelompok mereka, yang berurusan dengan Sinden. Pernah suatu hari, Widya mendengar secara tidak langsung, kalau ini semua karena Sinden-nya mengandung kutukan. Tapi pak Prabu bersihkeras itu mitos, takhayul, sesuatu yang membuat warga desanya ketinggalan jaman.
Namun, satu kali, Widya pernah diberi tahu warga, bila Sinden ini ada yang jaga. Katanya, Sinden ini dulu, sering di gunakan untuk mandi oleh dia. Dia yang di bicarakan ini siapa, tidak pernah disebut warga. Namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah nama Sinden ini, Sinden kembar. Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu. Sinden kembar, membuat Widya semakin penasaran.
Alasan kenapa pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat di alirkan ke Sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal.
Malam itu, Ayu mengumpulkan semua anak, perihal masalah yang mereka hadapi, hampir setengah warga yang membantu proker mereka tidak mau melanjutkan pekerjaanya. Alasanya bermacam-macam, sibuk berkebun sampai badanya sakit semua. Dari semua anak yang punya usul, hanya Bima yang tidak seantusias yang lain. Di malam itu juga, Widya ingat yang di katakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukanya.

Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan. Dan ternyata benar, malam itu Bima pergi keluar rumah. Widya masuk ke kamar Bima, disana ada Wahyu dan Anton. Yang pertama Widya lakukan, membangunkan Wahyu. Meski enggan bangun, Widya terus memaksanya, setelah Wahyu benar-benar terjaga, Widya memberitahu kalau Bima baru saja keluar. Wahyu hanya menatap Widya keheranan, 

"Aku lak wes tau ngomong su." (Aku kan sudah pernah bilang njing). "Lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku" (Lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu).
"Gawe opo? paling nang omahe Prabu, ndandani tong bambu'ne." (Buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong sampahnya yang dari bambu).
"Yo wes mboh." (Ya sudah terserah).

Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima sendirian. Bima itu anak cowok yang paling religius, sama seperti Nur, karena mereka memang sudah dekat di kampus. Tapi, Anton sering cerita, kalau kadang, dia memergoki Bima onani di dalam kamar, dan itu tidak sekali dua kali. Masalahnya adalah, saat Bima melakukan itu, ada suara perempuan. Widya tidak terima Bima di katain itu oleh Anton. Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani? 

"Heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo?" (Kamu pikir saya tak tau bagaimana cowok onani?).
Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton. "Sing dadi masalahe iku guk Bima onani, kabeh lanangan pasti tahu onani, aku gak munafik, masalahe, onok suara wedok'e,??" (Yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuanya??).
"Pas tak enteni, sopo arek iku, nek gak awakmu, pasti Ayu nek gak Nur, tapi, ra onok sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui." (Ketika ku tunggu, siapa perempuan itu, ku kira itu kamu, kalau tidak Ayu atau Nur, ternyata, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar sama dia).
"Trus" tanya Widya.
"Suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu?" (Suara siapa dong yang ku dengar waktu itu?).
"Masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku." (Masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu).

Cerita Anton membuat pandangan Widya berubah, dan malam itu, ia melihat Bima berjalan jauh ke timur, arah menuju sebuah tempat yang seringkali membuat Widya merinding tiap memandangnya; Tipak Talas.
Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang. Hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini. Selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak talas ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.
Pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman, namun bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda? Sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di maksud adalah simbol alam lain. Hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. Lalu, apa maksud penanda warna merah?

Konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka. Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tanganya mencari sesuatu yang bisa menahan berat tubuhnya.
Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai ketika Widya sampai di puncak Tapak Tilas. Widya hanya melihat satu jalan setapak. Kelihatanya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga. Di sana, Widya merasakanya. Perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara. Hal itu membuat Widya merinding.
Jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan. Pohon menjulang tinggi dengan tumbuhan disekitarnya yang tidak tersentuh. Sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak. Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.
Apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending. Ya, suara yang familiar, nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi bersama Nur. Sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.
Bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi. Semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa disana, Widya tidak sendirian. Namun, yang Widya temui, adalah ujung TipakTtalas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak. Di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti disini.
Jadi, jalan menurunnya di tutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas. Saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang di lilit tali puteri.
Di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan. Ada 4 pilar kayu jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung.
Disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini. Saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadiranya tidak sendirian, ramai. Seperti tempat ini penuh sesak, namun tidak ada siapapun disana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati.
Tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap hening sekali. Keheningan itu benar-benar menganggu Widya. Kehadiranya seperti tidak di terima disini. Namun Widya memaksa untuk tetap melihat. Dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal; Ayu. Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN disini, Ayu.
Seperti menangkap angin, ada suara tangisanya, namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari. Tetapi tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya. Sepertinya ia ditatap dari berbagai sudut. Widya melihat dari jauh di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.
Widya mendekatinya, namun enggan membukanya. Dia mengelilingi gubuk itu. Dari dalam gubuk, terdengar suara Bima, di ikuti suara perempuan mendesah. Sangat jelas, namun Widya tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana.
Leher Widya perlahan semakin berat, dan berat. Saat Widya masih bersusah payah mencari cara untuk melihat, nasib baik, Widya menemukan beberapa celah kecil untuk mengintip. Dari sana Widya menyaksikanya langsung. Bima, sedang berendam di Sinden (kolam) di sekitarnya, ia di kelilingi banyak sekali ular besar. Melihat itu Widya kaget. Dan parahnya, Bima menatap lurus ke tempat Widya mengintip, semua ularnya sama, seperti yang Widya rasakan, mereka tahu, ada tamu tak di undang.
Melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi. Saat lari itulah, suara tabuhan gong di ikuti suara kendang, terdengar lagi, suara gamelan itu, terdengar keras, lengkap dengan suara tertawa yang bersahut-sahutan. Dan Widya melihat Sanggar kosong itu, di penuhi semua yang tidak Widya lihat saat tiba di tempat ini. Dari ujung ke ujung, penuh sesak, banyak sekali yang dilihat Widya, ada yang melotot, dari yang wajahnya separoh, sampe yang tidak punya wajah.
Sementara saat Widya sedang bersama pengalaman mistisnya itu, di rumah, Nur yang sedang pulas, tersentak dari tidurnya. Lalu dia terbangun lantaran ada suara heboh. Saat ia melihat, apa yang membuatnya terbangun, Nur melihat Ayu, dengan mata terbuka, ia mengangah, seperti mau mengatakan sesuatu. Belum berhenti sampai disana, Nur tidak menemukan Widya di tempatnya. Hal itu, membuat Nur menjerit sehingga Wahyu dan Anton merangsek masuk dengan wajah khawatir.

"Onok opo Nur? (Ada apa Nur?).
"Widya ilang mas." (Widya hilang mas).
Wahyu dan Anton terhenyak sesaat.
"Bima yo gak onok nang kamar loh." (Bima juga tidak ada di dalam kamar) kata Anton buru-buru.
Sontak, semua mata memandang Ayu, Wahyu terhentak bingung.
"Ayu kenek opo Nur" (Ayu kenapa Nur)
"celukno pak Prabu!!" (panggilkan pak Prabu)
Sejak saat itulah mereka tidak menemukan Widya hingga keesokan magrib. Sedangkan Anton langsung pergi ke pak Prabu.
"Yu, tangi Yu!!" (Yu ayok bangun Yu). Namun, Ayu masih sama, ia hanya melihat langit-langit.
Nur memaksa mulutnya agar tertutup, namun, ia terus mengangah. Wahyu yang melihat tidak bisa berbuat apa-apa.
"Cok onok opo seh iki?" (Sial, ada apa sih ini?)
"Celokno warga ojok ndelok tok!"
Wahyu pun ikut pergi, Nur terus menahan mulut Ayu. Sampai Pak prabu datang bersama Anton dan melihatnya. "Kok isok koyok ngene to nduk." (Kok bisa sampai begini sih nak). 

Pak Prabu, pergi ke pawon, ia kembali membawa teko air. Nur menahan isi kepala Ayu, dan meminumkanya. Tiba-tiba, Ayu menutup mulutnya. Namun, ia masih belum bereaksi, tidak beberapa lama, warga sudah berdatangan bersama Wahyu. Saat itu, rumah itu di penuhi warga. Tanpa banyak bicara, pak Prabu menyuruh beberapa orang untuk memanggil mbah Buyut. Dan warga pun pergi. Nur menjelaskan kronologi kejadian itu, namun, ia meminta pak Prabu tidak menceritakan semua ini kepada warga.
Anton dan Wahyu yang mendengarnya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Asu, kok isok loh" (anj*ng! kok bisa bisanya) Wahyu tampak merah padam mendengar seluruh cerita Nur. 

Pak Prabu pun mengumpulkan warga, meminta mereka semua pergi menyisir setiap penjuru desa, mencari Bima dan Widya yang hilang sejak kemarin malam.
Nur terus menangis, melihat kondisi Ayu, membuat ia tidak bisa menahan kesedihan yang sudah memenuhi hatinyapak Prabu meminta penjelasan lebih detail, setelah itu, Nur menunjukkan barang yang seharusnya ia berikan kepada pak Prabu saat mendapatkanya.
Tepat ketika membuka kotak itu, pak Prabu yang melihatnya, kaget bukan main, sampai ia tiba-tiba berteriak marah 

"OLEH TEKAN NDI IKI?!"(DAPAT DARIMANA KAMU BENDA INI!!). Nur yang kaget, kemudian menjelaskan sisa ceritanya, disana. Pak Prabu terlihat frustasi, ia kemudian mengatakan kepada Nur.
"Nek kancamu gak ketemu, ikhlasno, ben aku sing ngadepi masalah iki." (Bila sampai temanmu, tidak ditemukan, ikhlaskan biar aku yang menghadapi sisanya). Nur pun bertanya, benda apa itu sebenarnya, namun pak Prabu tidak bicara. Ia harus menunggu datangnya mbah Buyut yang akan menceritakan semuanya.

Berjam-jam kemudian mbah Buyut datang, mendetak dengan tergopoh-gopoh, seakan mencari sesuatu. Mbah Buyut mengambil kawaturih, kemudian bertanya dari siapa benda itu. Nur mendekat, menjelaskan semuanya, ekspresi tenang mbah Buyut tidak terlihat sama sekali.
Kemudian ia menatap Ayu, helaan nafas berat mbah Buyut dikeluarkan. Kemudian ia, meminta Prabu membuatkan kopi hitam. Mbah Buyut duduk sembari berpikir, banyak pertanyaan yang ia ajukan mulai, sejak kapan ada benda seperti ini disini, lalu bagaimana bisa selendang itu di miliki Ayu, Nur menceritakan semuanya..Saat menyesap kopi itu, mbah Buyut berujar, 

"Kancamu, keblubuk angkarah." (Temanmu terjebak dalam pusaran). "Trus, yok nopo mbah?" (Lalu bagaimana mbah?).
"Siji kancamu wes ketemu, tapi sukmane gorong, tenang sek, yo." (Satu temanmu sudah ketemu lagi, tapi rohnya belum, sabar ya). Ternyata Bima yang dimaksud.
Tidak beberapa lama, kerumunan warga mendekat, Wahyu masuk wajahnya pucatseorang warga membopong seseorang. Ketika Nur melihatnya, ia tidak bisa menghentikan jeritanya, manakala melihat Bima kejang-kejang layaknya seorang yang terkena epilepsi.
Wahyu, segera memeluknya, menutupi Nur agar tidak melihat Bima yang menjadi seperti itu. Mbah Buyut kemudian mengatakan, bahwa bila sukma dua orang ini -Ayu dan Bima, sedang terjebak. Namun, ada satu orang yang bukan hanya sukmanya yang hilang atau di sesatkan, melainkan raganya juga ikut disesatkan, ia adalah Widya.

Widya, menurut mbah Buyut, adalah orang yang paling di inginkan oleh, Badarawuhi. Namun, ia meleset. Mbah buyut menunjukkan kawaturih, yang harusnya memiliki pasangan. Benda ini di letakkan di lengan seorang penari sebagai susuk. Entah ada kejadian apa, Badarawuhi menginginkan benda ini ada pada Widya. Namun, Nur yang menemukanya, kemudian mengambilnya. Membuat benda ini kehilangan pemilik. Yang artinya, Nur lah yang memiliki, tapi, Nur dilindungi.
Itulah alasan kenapa Nur selalu merasakan bahwa badanya terasa berat di jam-jam tertentu. Rupanya mbah Dok yang melindungi Nur sudah berkelahi hampir dengan setengah penghuni hutan ini. Setelah itu, pak Prabu meminta agar Ayu dan Bima di tutup oleh kain selendang, di ikat dengan tali kain kafan, membiarkanya seolah-olah mereka sudah tidak bernyawa.
Mbah Buyut, pergi ke kamar, ia akan mencari Widya, menjelma sebagai anjing hitam dengan ilmu kebatinanya. Anjing hitam yang tak lain adalah mbah Buyut lalu pergi keluar. Sementara Widya saat itu sedang berlari ketakutan. Dia melihat warga lelembut hutan dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. Mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya. Widya mulai menangis.
Suara yang nyaris memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti. Widya melihat, di depanya ada yang sedang menari. Tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya. Di sana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu.
Matanya Ayu sembab, seperti sudah menangis lama. Tapi gelagat ekspresi wajahnya seperti menyuruh Widya lari. Lari, tanpa tahu apa yang terjadi, Widya lari melewati kerumunan yang sedang melihat Ayu menari di sanggar.
Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya. Sampai di jalan setapak, Widya dengar anjing menggonggong. Tidak beberapa lama, anjing hitam keluar dari semak belukar. Setelah melihat Widya, anjing itu lari, Widya mengikuti anjing itu yang tak lain adalah mbah Buyut. Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh. Terlihat dari langit yang kebiruan.
Tapi rupanya, Widya salah. Rupanya itu magrib. Seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung. 

"Widya nang kene, iki Widya wes balik." (Widya disini, anaknya sudah kembali). Bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.
"Mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki." (Kesini nak, kesini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu dengar). 

Seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya hanya gaguk, diam, tidak mengerti. Si ibu menggandeng Widya. Widya masih diam, seperti orang linglung, di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya.
Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang. "Wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek." (Sudah di cari sampai ujung D********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk). Sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.

Pak Prabu menceritakan kepada Nur dan kawan-kawannya, bahwa memang ada rahasia yang tidak ia katakan dan alasan kenapa ia menolak keras di adakan kegiatan ini sejak awal. Tepat di samping lereng, ada Tapak Tilas, tempat penduduk desa ini mengadakan pertunjukkan tari. Bukan untuk manusia namun untuk jin hutan. Ia mengatakan, dulu, setiap di adakan tarian itu, untuk menghindari balak (bencana) bagi desa ini.
Seriring berjalanya waktu, rupanya, mereka yang menari untuk desa ini, akan di tumbalkan. Masalahnya, setiap penari haruslah dari perempuan muda yang masih perawan. 

"Tapi Ayu pak?" kata Nur membantah. "Itu masalahnya" kata pak Prabu. "Asumsi saya, Ayu sejak awal hanya sebagai perantara, ke Widya, lewat Bima. Namun, Ayu tidak memenuhi tugasnya, akibatnya, Ayu di buatkan jalan pintas, ia di beri selendang hijau itu. Tahu darimana selendang itu? selendang para penari."
Pak Prabu kemudian duduk, matanya merah padam. "Seharusnya saya menolak habis-habisan. Bila bukan karena dia adik teman saya. Selendang itu, adalah selendang yang keramat, tidak ada lelaki yang bisa menolak selendang itu saat di pakai oleh perempuan."
"Nak Ayu tidak salah, nak Bima pun begitu. Saya yang salah, seharusnya saya tolak kalian semua. Toh anak-anak kami pun tidak ada yang tinggal disini. Tempat ini, bukan untuk anak setengah matang seperti kalian."

Mendengar itu, membuat Nur tidak kuasa melihat Ayu. Hari semakin petang. Ketika Matahari sudah benar-benar tenggelam, terdengar orang berteriak heboh. Mereka meneriakkan bila Widya sudah ketemu.
Mata pak Prabu mendelik melihat Widya. "Tekan ndi ndok?" (Darimana kamu nak?). Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibu juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah. Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan. Saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu di penuhi orang yang duduk bersila. Mereka mengelilingi dua orang yang terbujur, tubuhnya di tutup selendang, di ikat dengan tali putih, menyerupai kafan. Wahyu dan Anton menatap kaget saat Widya masuk.

"Wid, tekan ndi awakmu?" (Darimana kamu Wid?) ucap Nur yang langsung memeluk Widya.
"Onok opo iki Nur?" (Ada apa ini Nur?)
Dari Pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya. 
"Sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi." (Sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi). Mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian berucap.
"Koncomu wes kelewatan."
"Pripun mbah?" (Bagaimana mbah?)
"Yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (Bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?)
Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, "Nyoh, di ombe sek." (Nih, di minum dulu).

Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang monohok membuat tenggorokan Widya seperti di cekik, membuat Widya memuntahkanya, begitu banyak muntahan air liur Widya yang keluar. Dia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk seperti memastikan.

"Koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh bangsa demit." (Temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa di terima manusia, apalagi bangsa halus) kata mbah Buyut sembari geleng kepala. "Paham ndok?" (Paham nak?). Widya mengangguk.
"Sinden sing di garap, iku ngunu, Sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi." (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi).
"Eroh opo iku sinden?" (Tahu kegunaan Sinden?).
"Mboten mbah." (Tidak tahu mbah).
"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon."
(Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil, nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa di kerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh di datangi, apalagi di pakai kawin (berbuat mesum)).
"Widya ngerti, sopo sing gok Sinden iku?" (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu?)
Widya diam lama, sebelum mengatakanya, "Ular mbah."
"Nggih. Betul".
"Sing mok delok iku, ulo anak'e Bima karo.." (Yang kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama..)
"Ular itu mbah."
Mbah buyut mengangguk. "Iku ngunu, mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno Awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes di incer karo.." (Itu, mbah yang kecolongan, Widya cuma di jadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi kamu, tapi mbah salah, dari awal, yang di incar sama..). Mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu.
"Ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (Lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali?)
"Isok isok" kata mbah Buyut. "Sampe balak'e di angkat."
"Balak'e di angkat mbah?" (Bencananya di angkat?) kata Widya, bingung.
"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni." (Bima sama Ayu sudah kelewatan. Sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat).
"Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki." (Ayu sekarang harus menari mengelilingi hutan ini).
"Sak angkule nari, sadalan-sadalan." (Tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini).
"Bima mbah?"
"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden." (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden).
"Badarawuhi mbah"
Mbah buyut kaget. "Oh ngunu" (oh begitu) "wes eroh jeneng'e." (Sudah tahu namanya).
"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari"
(Badarawuhi itu salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus menggantikanya).
"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo." (Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ular.)
"Salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate." (Ssalah temanmu sendiri, berbuat gila di sana, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab).
"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok di tolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep-orep." (Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukanya, tak bisa di tolak apalagi sampai dibuang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup-hidup.)

Mbah buyut pun pergi. Nur masih mencoba membangunkan Ayu, meski hal itu, mustahil bisa dilakukan. ketika melihat mbah Buyut keluar, Nur, Wahyu, dan Anton yang baru tiba, ikut masuk ke dapur, ia hanya melihat Widya murung, seperti memikirkan sesuatu. "Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!" (Bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t) Wahyu memaki.
Malam itu juga, pak Prabu mengumpulkan semua anak yang tersisa, ia mengatakan, sudah menghubungi pihak kampus, pun dengan kakak Ayu, yang sedang dalam perjalanan kesini. Esok, mungkin mereka tiba.
Mbah Buyut pun menjaga rumah itu. Konon, semua lelembut sudah mengepung rumah itu. Pagi itu, Nur menemui pak Prabu, meminta agar seharusnya ia menahan diri sebelum informasi ini keluar. Karena sebelumnya, mbah Buyut mengatakan bisa mengembalikan Ayu dan Bima, hanya tinggal menunggu waktu. Namun ucapan pak Prabu membuat Nur tidak berkutik.
"Nek pancen isok, yo gak bakal akeh sing wes dadi korban, awakmu eroh patek ireng iku opo, nyoh kui korban sak durunge, nang ndi sak iki, wes gak onok." (Kalau memang bisa, ya gak mungkin ada korban, kamu tahu, kenapa ada nisan dengan kain hitam, itu korban sebelum kejadian ini).
"Gak nutup kemungkinan kancamu isok mbalik, tapi kemungkinane cilik, gak usah berharap, mbah Buyut asline wes mblenger, kudu urusan ambek bangsa iku." (Tidak menutup kemungkinan memang temanmu bisa kembali, tapi, kemungkinanya kecil, mbah Buyut sudah bosan, berurusan dengan mereka).

Siang hari, rombongan orang dari kampuspun dengan beberapa wali datang. Bahkan suara membentak dari mas Ilham bisa terdengar dari luar. Ada tawar menawar dimana mbah Buyut menjanjikan agar Ayu dan Bima tetap disini, Namun pihak keluarga menolak sampai mengancam, ini akan tersebar.
Akhir dari perjalanan KKN mereka selesai disini, bukan hanya pak Prabu yang terseret, pihak kampus efeknya lebih besar lagi, sampai harus menjanjikan bahwa masih ada jalan lain mengembalikan mereka. KKN mereka, resmi di coret, tak ada hasil apapun selama pra kerja mereka.
Widya, butuh waktu lama untuk pulih setidaknya itu yang Nur dengar, sementara Nur menjelaskan kronologi kejadian pada Abah dan Umi, orang tua Bima, yang tidak henti-hentinya, mengadakan doa bersama di rumahnya. Pukulan keras setiap Nur melihat air mata umi menetes.
Ada kejadian menarik, dimana Nur di ceritakan oleh Umi, semalam sebelum Bima akhirnya meninggal, ia mengetuk pintu kamar, disana ia meminta maaf sama Abah dan Umi, kemudian pamit kembali ke kamar, sembari mengatakan "Ular-ular!" dan di akhiri dengan hembusan nafas terakhirnya. Namun, Nur juga diberitahu Abah, bahwa, apa yg di katakan Umi itu tidak usah di pikirkan. Karena Umi sebenarnya menceritakan tentang mimpinya. Bima masih kejang-kejang dan memang meninggal pada malam kejadian.
Sedang mengenai Ayu, mas Ilham menghubungi Nur. Beliau meminta tolong agar Nur bersedia mendampingi Ayu selama proses penyembuhan, dimana dokter sudah angkat tangan dan mendiagnosa Ayu lumpuh total, yang tidak di ketahui penyebabnya.
Sampailah mereka di rumah orang yang menawarkan bantuan itu. Sesampai disana, Ayu ditidurkan di atas pelepah daun pisang, yang kemudian dimasukkan dalam sebuah keranda. Nur yang melihat itu, mengatakan pada mas Ilham bahwa itu perbuatan tidak benar. Namun, mas Ilham menolak, mengatakan mungkin masih bisa mengembalikan adiknya. Mas Ilham sangat frustasi. Butuh waktu lama, sampai orang yang membantu tiba tiba, bangun dan mengatakan ia tidak sanggup.
Ayu, tidak dapat di selamatkan, kecuali, di bawa keluar dari Pulau Jawa. Namun, hal itu, juga mustahil dilakukan.

"Ayu gorong wayahe mati, dadi, keadaane yo bakal koyok ngene sampe wayahe mati," (Ayu belum seharusnya meninggal, jadi dia akan terjebak seperti ini sampai waktunya tiba) kata orang itu.
"Di bawa saja ke pulau K********N, saya ada saudara disana," kata mas Ilham waktu itu.
"Masalahe-arek iki gak oleh cidek segoro, nek cedek segoro, isok di matekno." (Masalahnya, anak ini di larang mendekati laut atau samudera, bila tetap nekat dia mati).
"Kan isok numpak pesawat," (kan bisa naik pesawat) kata mas Ilham.
"Isok pesawat gak liwat segoro?" (Memang bisa pesawat-nya gak usah melewati laut?).
Setelah dari sana itu, Ayu akhirnya di pulangkan. Ia ada di rumah itu kurang lebih 3 bulan. Sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir juga, setelah orang tua Ayu mengatakan sudah ikhlas, termasuk mas Ilham.

Keikhlasan orang tua Ayu termasuk mencabut gugatan terhadap pihak kampus dan juga sudah tidak mau menyalahkan siapapun. Ayu di kebumikan di makam keluarga, sembari di doakan di situ. Ibunya mengaku, sering melihat Ayu meneteskan air mata.


-End-